Selasa, 27 Mei 2008

Belajar dari Penjual Wedang Jahe



Saya bersyukur karena, di tengah perkerjaan saya sebagai orang upahan atau karyawan, kadang-kadang saya dipanggil dan dipercaya orang atau rumah sakit atau perusahaan untuk menjadi narasumber dalam workshop, seminar atau memberikan konsultasi. Meskipun saya sering merasa tidak layak karena minimnya wawasan dan kompetensi yang saya miliki, namun saya seringkali nekad. Asal ada orang yang manggil dan waktunya cocok, saya oke-oke saja. Nampaknya saya bisa menikmati profesi sampingan sebagai “pria panggilan” ini, meskipun resikonya harus stress karena harus menyiapkan segala sesuatunya. Dari banyak pengalaman yang saya lalui, seringkali saya memiliki banyak kesan bukan karena ketemu cewek cantik atau ketemu bos-bos besar tetapi justru banyak pengalaman kecil dan sederhana diluar acara pokok. Waktu ketemu sopir taxi, petugas hotel, ketemu penjual di pinggir jalan, makan makanan yang sederhana atau ketemu peristiwa-peristiwa yang simple tetapi mempunyai makna yang besar.

Suatu saat saya diminta membantu satu rumah sakit di jawa timur sebagai fasilitator workshop. Seperti biasa, pada malam harinya, panitia mengajak saya dan teman-teman makan malam diluar dan jalan-jalan keliling kota. Mendengar cerita dari panitia, saya dan teman-teman tertarik ingin merasakan jajanan khas dengan cara nongkrong dipinggir jalan sambil minum wedang jahe dan makan gorengan. Jajanan ini ada diatas trotoar dipinggir jalan raya. Penjual hanya membuka dagangannya pada malam hari, sehingga tidak terlihat kalo sebenanya banyak debu. Tapi apa yang menarik, harganya murah dan pembelinya banyak, bahkan menurut informasi tempat ini sering digunakan tokoh-tokoh politik di kota itu untuk negosiasi hal-hal penting di kota itu secara informal.

Ada pengalaman menarik yang kami alami. Jahe yang digunakan untuk wedang jahe bukan berasal dari serbuk tetapi jahe utuh yang “digepuk” dan dimasukkan kedalam gelas dengan air panas ditambah gula. Ketika salah seorang teman saya mengambil gelas dan mencicipi... tiba-tiba dia mengerutkan wajahnya karena pahit atau kurang manis... Eh apa yang terjadi ? Sebelum teman saya berkomentar, si penjual yang melihat teman saya minum tadi langsung bicara “.. pripun mbak, kurang manis nggih ? kulo tambahi gendis nggih ?” Wah... luar biasa.. seorang penjual yang sangat tradisional tetapi dia begitu perhatian (care) pada customer. Dia fokus pada pelanggan dan berusaha memberikan yang terbaik agar konsumennya puas.

Dalam perjalanan pulang, saya bercakap-cakap dengan teman-teman. Selama ini banyak rumah sakit dan perusahaan ingin meningkatkan mutu layanannya dengan belajar banyak ke rumah sakit atau perusahaan lain yang lebih maju bahkan belajar ke hotel bintang lima. Kenapa harus mahal-mahal ? Ternyata banyak sekali di sekitar kita yang dapat kita jadikan tempat belajar untuk kemajuan pelayanan rumah sakit atau perusahaan. Tidak salah kita belajar pada hotel atau rumah sakit yang lebih besar, tetapi ada baiknya juga kita belajar pada lingkungan disekitar kita. Tidak jelek kita belajar kepada orang atau usaha lain yang kita anggap kecil. Kadang ada mutiara berharga di tempat-tempat yang kita anggap remeh.

Mungkin kita berargumentasi :”Nggak bisa disamakan dong, konsumen mereka kan hanya 5-10 orang, sedangkan rumah sakit pasiennya banyak. Jadi gak bisa disamakan dengan penjual wedang jahe.” Memang pasien rumah sakit lebih banyak tetapi jumlah yang melayani juga banyak. Yang harus diakukan adalah bagaimana kita mengorganisir karyawan yang jumlahnya banyak itu sedemikan sehingga setiap pasien dapat mendapatkan pelayanan dan perhatian sebagaimana mestinya.

Semoga memberikan inspirasi dan kepada Bapak Penjual Wedang Jahe, terima kasih atas pembelajaran yang sangat berharga namun murah biayanya.

Tidak ada komentar: