Minggu, 18 Mei 2008

Memilih catering atau masakan isteri ?

(Refleksi memasuki perdagangan bebas)

oleh : E. Hindro Cahyono


Sebagai seorang suami, Subagong tidak pernah tahu secara persis berapa biaya pengeluaran rumah tangganya untuk keperluan makan setiap bulannya. Pokoknya asal makanan tersedia dan istri tidak mengeluh jatah bulannnya kurang, okelah.

Meski di rumah pake pembantu, istri Subagong sudah biasa masak menyediakan makanan. Jam 4 pagi, dia sudah bangun menyiapkan sarapan pagi. Pulang kerja jam 4 sore dia juga sudah mulai masak di dapur menyiapkan makan malam.

Suatu saat, pembantu rumahtangganya pulang kampung dan tidak kembali. Peristiwa ini menyebabkan Subagong harus berbagi tugas untuk mengambil alih pekerjaan-pekerjaan yang selama ini dilakukan oleh pembantu. Mereka harus berbagi tugas untuk mencuci, menyeterika, membersikan rumah dan mengantarjemput anak-anak sekolah. Nampaknya beban kerja tersebut membuat mereka « kepontal-pontal « . Sukurlah akhirnya mereka mendapat alaternatif jalan keluar. Ternyata ada seorang yang dapat melayani catering. Setelah dicoba eh… ternyata makanannya enak dan harganya murah, tidak jauh berbeda dengan biaya jika masak sendiri bahkan kalo tenaga istrinya untuk masak diperhitungkan sebagai biaya maka biaya catering ternyata lebih murah.

Akhirnya Subagong menyarankan istrinya agar terus menggunakan jasa catering saja meskipun sekarang sudah punya pembantu. Tapi istrinya berpendapat lain, catering hanya dipesan saat dia tidak sempat masak saja. Selain itu harus masak sendiri meskipun biayanya lebih mahal. Barangkali dengan istilah sederhana dia mau mengatakan : “pokoknya kita harus menggunakan produksi ‘dalam negeri’, hanya kalau kepepet boleh memakai produk ‘luar negeri’.

***

Memasuki masa global sering diibaratkan seperti memasuki dunia tanpa batas. Salah satu tandanya adalah adanya perdagangan bebas antar negara. Sudah banyak negara yang sepakat menghilangkan hambatan masuk barang dan jasa dari satu negara ke negara lainnya. Dengan demikian setiap negara harus memiliki barang/jasa yang siap bersaing dengan negara lain meski itu dijual di negeri sendiri. Dari kaca mata konsumen situasi itu cukup menguntungkan karena dia memiliki banyak pilihan untuk membeli barang/jasa yang diperlukan dan dapat memilih barang/jasa yang sesuai baik mutu maupun harganya.

Sebaliknya dari kacamata perusahaan, hal itu menjadi satu tantangan sebab jika tidak mampu menghasilkan barang/jasa yang mutu dan harganya bersaing dengan perusahaan lain maka matilah perusahaan itu.

Konon kabarnya, banyak rumah sakit luar negeri yang akan beroperasi di negara kita. Bahkan kita sering mendengar mereka bisa memberikan pelayanan yang baik dengan harga yang relatif murah.

Menyikapi situasi seperti itu apa yang akan kita lakukan ? Apakah kita akan bersikap seperti istri Subagong yang mengkampanyekan “cinta rumah sakit dalam negeri” dengan payung nasionalisme ? Akankah kita terus mengkampanyekan bahwa kita harus cinta produk/jasa dalam negeri meskipun mutunya lebih rendah atau harganya lebih mahal ? Atau kita akan bersikap positif dan proaktif dengan mempersiapkan diri agar tetap menjadi rumah sakit yang disukai oleh masyarakat meskipun banyak rumah sakit pesaing dari luar negeri ?

Saya bukan orang yang cinta globalisasi tetapi juga bukan orang yang anti globalisasi. Tetapi saya hanya mengajak untuk menyikapi proses globalisasi yang sedang berjalan meskipun prosesnya kadang maju mundur.

Almarhum Pak Harto, bapaknya Tommy, sewaktu menjadi presiden pernah mengatakan bahwa suka atau tidak suka globalisasi harus kita jalani. Artinya globalisasi adalah sebuah proses yang tidak mungkin kita hindari kalau kita tidak mau menjadi bangsa yang terisolasi dari pergaulan dunia. Makanya para pemimpin kita sudah ikut menandatangani kesepakatan WTO (Organisasi Pergadangan Dunia) maupun kesepakatan dalam perdagangan bebas tingkat regional.

Dengan demikian, sebagai suatu institusi rumah sakit yang melayani masyarakat maka yang harus kita lakukan adalah bagaimana mempersiapkan diri untuk menghadapi masa global tersebut dengan tingkat kesiapan yang memadai sehingga mampu bersaing dengan rumah sakit lain.

Organisasi yang akan memasuki masa global, konon katanya harus memiliki beberapa ciri. Yang pertama adalah harus fokus pada pelanggan/konsumen. Dalam hal ini, organisasi tidak harus memenuhi semua harapan/keinginan masyarakat tetapi harus lebih fokus untuk memenuhi harapan/keinginan pelanggan yang menjadi target pelayanannya. Rumah sakit tidak harus membeli alat-alat yang supercanggih dan mahal kalau memang pelanggannya tidak membutuhkan. Yang perlu mendapat perhatian adalah RS harus mampu mengetahui kebutuhan dan keinginan pasien yang menjadi target pelayanannya dan harus menyediakan jasa layanan yang lebih memuaskan pelanggannya dibanding dengan para pesaingnya, baik dari sisi mutu maupun harganya.

Ciri yang kedua adalah perbaikan berkelanjutan atau biasa disebut continous improvement. Harapan/keinginan masyarakat terus berubah dan pesaing juga akan terus berubah bahkan mungkin bertambah sehingga RS juga perlu terus beradaptasi dengan cara menyesuaikan sistem pelayanannya secara cepat untuk memenuhi tuntutan pasien. Apa yang dulu dianggap oleh konsumen bermutu/baik sekarang bisa dianggap tidak bermutu/tidak baik karena harapan dan keinginan pasien telah berubah. Hal ini menuntut semua komponen organisasi untuk selalu siap berubah. Kalau dulu ada yang yang mengatakan : „mandeg berarti mundur“, sekarang „mandeg berarti hancur“ karena RS akan ditinggalkan oleh pelanggannya.

Ciri yang ketiga adalah lintas fungsional. Organisasi pada dasarnya adalah kerjasama antar manusia untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu setiap bagian/orang tidak bisa bekerja sendiri-sendiri dan tidak bisa „lu-lu, gue-gue“. Harus dibiasakan kerja lintas bagian/lintas profesi/lintas spesialisasi demi pencapaian tujuan organisasi. Saling memberikan saran/nasehat atau bekerja dalam satu tim lintas fungsi adalah suatu kebutuhan organisasi.

Apakah ciri-ciri itu ada pada rumah sakit kita ? Entah ada atau tidak yang penting saya rasa adalah apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Rasanya sangat sulit di masa global ini jika kita berprinsip seperti istri Subagong yang mendengungkan ‘harus pakai produk dalam negeri’ padahal negara kita telah membuka kran untuk masuknya produk luar negeri. Dan menurut pengamatan, saat ini banyak produk luar negeri yang bermutu baik dengan harga murah.

Tidak ada komentar: