. Pendekatan alternatif untuk pengembangan organisasi & SDM .
Subagong adalah seorang karyawan resepsionis suatu perusahaan jasa di kota impian. Saat ini, dia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Dia tidak tahu persis kenapa dia sebagai seorang karyawan yang bertugas di bagian resepsionis tahun ini kinerjanya dinilai turun lagi oleh atasannya. Menurut manajernya dia tidak ramah, ketus dan kurang responsip terhadap konsumen maupun kepada rekan sekerjanya. Dia tidak sependapat dengan penilaian manajernya, karena menurut dia ketidak ramahan dan sikap ketusnya muncul karena dipicu oleh rekan kerja bagian lain yang bersikap ketus pula. Sedangkan sikapnya yang tidak ramah kepada konsumen, menurut dia karena banyaknya beban pekerjaan yang membuatnya tidak bisa bersikap ramah dan responsive.
Tahun lalu dia juga dinilai kinerjanya kurang baik, bahkan manajernya telah memberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan service exelence. Dia telah diberi training tentang bagaimana berkomunikasi yang baik kepada para konsumen maupun rekan sekerja, namun ternyata hasilnya masih belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan.
Dalam dialog dengan manajernya beberapa waktu yang lalu, tidak ada kesepakatan tentang rencana aksi untuk memperbaiki kinerjanya. Manajernya hanya berpesan : “pokoknya pada waktu yang akan datang kinerjamu harus diperbaiki !!!”
*****
Tidak mudah membuat perubahan dalam organisasi
Perkembangan suatu organisasi sangat ditentukan oleh perilaku dan kualitas karyawannya. Hal ini bisa dimaklumi karena karyawan atau biasa disebut SDM adalah unsur terpenting dalam suatu organisasi. Banyak organisasi yang telah mengeluarkan dana cukup besar untuk mengembangkan karyawannya, bukan hanya untuk peningkatan skill tetapi juga untuk membangun nilai-nilai dan budaya kerja organisasi. Namun dalam kenyataannya seringkali upaya peningkatan SDM yang menghabiskan dana cukup besar tersebut, belum membawa hasil yang optimal.
Apa yang dialami oleh Subagong di atas adalah contoh kecil dari persoalan SDM yang banyak ditemui diberbagai organisasi. Ternyata tidak mudah mengajak seseorang untuk berubah. Bagaimana tidak susah, jika orang yang seharusnya berubah merasa dirinya sudah baik dan tidak ada yang perlu untuk dirubah ? Keadaan ini seringkali tidak terselesaikan dengan baik dan menjadi masalah yang berkepanjangan. Seorang manajer yang telah memberikan pelatihan kepada karyawan kadangkala menjadi frustasi karena pelatihan tersebut ternyata tidak bermanfaat secara optimal bagi perkembangan organisasi. Dan lebih celaka lagi, mereka menjadi apatis karena tidak dapat berbuat banyak untuk melakuan perubahan. “Pokoknya, pada waktu yang akan datang kinerjamu harus diperbaiki” begitu manajer Subagong berpesan pada dirinya. Mungkin pesan manajer Subagong tersebut mewakili banyak manajer yang sudah kesulitan mencari cara untuk menangani perubahan dalam organisasi.
Pendekatan tradisional :problem-diagnosis-solusi
Dalam menangani permasalahan peningkatan mutu SDM, biasanya suatu organisasi berangkat dari suatu problem, masalah atau “kisah sedih”. Misalnya : angka keluhan konsumen yang tinggi, tingkat kesalahan yang tinggi dll. Atas problem tersebut kemudian dilakukan diagnosis atau mencari faktor penyebabnya dan selanjutnya dicarikan solusinya. Misalnya : dari angka keluhan konsumen yang cukup tinggi, setelah dianalisa ternyata faktor penyebabnya adalah sikap petugas yang kurang ramah. Kemudian diambil satu solusi yaitu pelatihan. Pendekatan problem-diagnosis-solusi ini banyak sekali dipakai oleh organisasi dalam menangani pengembangan SDM. Namun pendekatan ini seringkali kurang efektif karena ada 2 faktor penyebab. Penyebab pertama, petugas yang terkait seringkali bersikap defensif. Petugas merasa disalahkan atau bersikap tidak mau disalahkan dan akhirnya melempar tanggungjawab ke pihak lain. Ketika ada keluhan dari konsumen dia beralasan karena sedang sibuk atau justru menyalahkan konsumennya yang memang rewel. Ketika ada keluhan keterlambatan penyelesaian pekerjaan dari bagian lain, dia menyalahkan bagian lain yang belum menyediakan bahan tertentu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan. Sikap seperti ini orang merasa tidak ada yang perlu diperbaiki dalam dirinya. Dengan kata lain yang perlu dirubah adalah orang lain bukan dirinya.
Penyebab kedua, adanya anggapan kalau karyawan yang diikutkan pelatihan adalah orang yang bermasalah karena tidak bisa memuaskan konsumen. Pelatihan dianggap sebagai “hukuman” atas sikap mereka yang kurang baik. Akibatnya mereka menjalani pelatihan dengan “setengah hati” sehingga hasilnya kurang maksimal.
Appreciative Inquiry (AI): suatu pendekatan alternatif
Jika pendekatan tradisional dimulai dari mencari problem, ketidakberesan, kelemahan atau kesalahan organisasi, maka pendekatan AI ini melihat organisasi dari kacamata yang apresiatif, yaitu melihat kekuatan, keberhasilan, prestasi atau kesuksesan yang pernah dicapai seseorang atau organisasi. Dengan bahasa yang sederhana, jika pendekatan tradisional dimulai dari “kisah sedih”, maka pendekatan apresiatif berangkat dari “kisah sukses”.
Pendekatan apresiatif ini, bisa dilakukan dalam 4 tahap yang bisa disingkat dengan 4D. Yang pertama adalah discovery. Tahap ini, kita mencari dan menemukan kisah sukses, prestasi,kekuatan dan keberhasilan seseorang atau organisasi. Caranya adalah dengan wawancara atau diskusi kelompok untuk menggali kekuatan yang kita miliki. Jika dalam pendekatan tradisional ditanyakan :”Apa yang kita lakukan untuk mengurangi angka keluhan pasien ?”, maka dalam pendekatan AI akan ditanyakan :” Apakah anda dapat menceritakan suatu pengalaman saat konsumen merasa sangat puas dengan pelayanan kita? Bisakan anda menjelaskan apa yang menyebabkannya ? Bagaimana kita bisa belajar dari pengalaman baik itu agar pelayanan kita di waktu yang akan datang bisa menjadi lebih baik lagi ?
Tahap kedua adalah dream. Pada tahap ini peserta diajak untuk membayangkan atau bermimpi suatu keadaan yang akan diwujudkan di masa depan. Dari hasil pada tahap discovery, peserta diajak mengeksplor keadaan ideal di masa yang akan datang untuk meningkatkan keberhasilan, prestasi atau sukses yang bisa dicapai saat ini. Mimpi ini bukan mimpi kosong tetapi mimpi yang harus berpijak pada keadaan yang ada di organisasi.
Tahap ketiga adalah design yaitu peserta diajak merumuskan atau memilih mimpi konkrit yang akan diwujudkan dalam waktu mendatang,misalnya 3 tahun kedepan.
Tahap keempat adalah destiny. Tahap ini mengajak peserta untuk membuat tindakan yang akan dilakukan dan membuat komitmen bersama untuk memastikan tercapainya apa yang telah dipilih dalam tahap design.
Belajar dari kisah sukses bukan dari kisah sedih
Organisasi akan lebih mudah dan lebih menyenangkan jika melakukan perubahan melalui kekuatan yang dimiliki. Dengan belajar dari kisah sukses, keberhasilan dan prestasi yang telah kita capai, kita dapat menemukan kekuatan organisasi untuk melakukan perubahan di masa depan.
Dari penelitian yang pernah dilakukan, pendekatan AI ini ternyata membuat banyak karyawan yang antusias dan membawa perubahan positif yang sangat berarti bagi kemajuan organisasi. Mereka menyebarluaskan dan mendiskusikan kisah-kisah sukses yang pernah dicapai. Kisah sukses dan prestasi bukan hanya membantu kita menemukan kekuatan seseorang atau organisasi tetapi juga dapat membangun rasa percaya diri dan dapat menjadi acuan/referensi untuk bekerja dengan lebih baik sehingga organisasi akan berjalan dengan lebih efektif.
Dengan pendekatan AI ini bukan berarti pendekatan tradisional menjadi tidak efektif dan harus ditinggalkan tetapi sebaliknya ini menjadi pendekatan alternatif bahkan mungkin menjadi pendekatan komplemen yang melengkapi pendekatan tradisional.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar