Minggu, 09 November 2008

Inspirasi Dari Pasar Senggol


Tanggal 22-24 Juli 2008, saya mengikuti seminar di Jakarta. Kebetulan saya menginap di Hotel Ciputra Jakarta Barat. Sebagai ”anak singkong” lidah saya seringkali tidak cocok dengan masakan hotel berbintang. Oleh karena itu setiap makan malam biasanya saya selalu mencari makanan tradisional, entah nasi uduk, ayam goreng, sate, atau lainnya. Bagi saya makan di warung tenda lebih enak dari pada di hotel. Rasanya lebih cocok dengan lidah saya, selain harganya juga lebih pas dengan isi dompet saya (alasan lidah dan alasan ekonomis).

Malam itu saya mencoba jalan-jalan mencari makan. Di beberapa warung makan pingir jalan nampaknya tidak ada satupun yang cocok. Kebetulan hotel Ciputra satu lokasi dengan Mall Ciputra. Saya teringat biasanya di mall ada food court atau pujasera. Saya mencoba menaiki lantai mall sampai di lantai paling atas. Saya melihat di lantai paling atas, ada tulisan Pasar Senggol dengan bentuk tulisan yang memancing saya untuk melihat kedalamnya. Ah pucuk dicinta ulam tiba. Ternyata di Pasar Senggol ini, adalah food court yang isinya makanan tradisional, ada sate kambing, soto betawi, soto ambengan, nasi timbel dll. Wah rasanya seneng karena banyak pilihan makanan yang sesuai dengan lidah saya.

Setelah pesan makanan, saya mencoba melihat-lihat diseluruh ruangan. Ada solo organ, ada banyak wanita yang merokok, dan pada umumnya orang datang berkelompok minimal berdua. Wah.. saya jadi seperti orang aneh karena sendirian. Yang lain pada ngobrol tetapi saya sendirian tak ada teman. Akhirnya saya teringat dengan beberapa teman lama yang tinggal di jakarta dan saya mencoba telpon mereka.

Yang pertama saya telpon pada teman yang keturunan manado. Teman saya ini sejak awal memang tidak pernah berniat jadi karyawan. Dia memang tipe wirausaha. Sudah beberapa tahun dia membuat usaha sendiri, dan nampaknya sampai sekarang masih eksis. Duh saya ikut senang, bangga dan pengin jadi pengusaha sendiri seperti dia.

Yang kedua, saya telpon teman yang bekerja di Garuda. Dia selama ini selain bekerja di Garuda juga nyambi berbagai usaha lain. Pernah sebagai agen MLM Tiansi. Terakhir dia juga nyambi sebagai agen asuransi. Dia nawari saya sebagai agen asuransi juga untuk nambah-nambah penghasilan. Teman saya ini niatnya menjadi pengusaha juga sangat kuat. Dia rela capai habis kerja harus keliling lagi cari klien asuransi. Dia kadang telpon ke HP saya berlama-lama memotivasi saya agar tidak puas jadi karyawan. Dia mengatakan jabatan setinggi apapun kalau statusnya karyawan hidupnya tetap diatur oleh orang lain karena kita hidup dari gaji yang diberikan orang lain. Dia selalu memotivasi saya agar belajar berbinis dan suatu saat harus bisa hidup dari usaha atau bisnis kita sendiri. Ya suatu saat kita harus jadi owner atau pemilik perusahaan sendiri dan itu harus dimulai dari usaha apa saja, kecil juga gak apa-apa. Dalam percakapan saya dengan teman saya ini, saya benar-benar kaget karena dia mengatakan : ”saya sudah resain dari Garuda”. Astaga... ”Kamu serius ?” tanya saya. Dia mengatakan ”Iya.. sekarang aku nekuni bisnis asuransi”. Sebuah keputusan ”gila”. Menurut saya ini keputusan yang gila. Bagaimana tidak, dia yang sudah mencapai posisi manajer di Garuda, sebuah perusahaan penerbangan terbesar di Indonesia, dia tinggalkan dan beralih ke bisnis asuransi. Di perusahaan asuransi, posisinya memang lebih otonom dia bisa rekrut tenaga marketing dan besarnya penghasilan tergantung pada usaha yang dia kerjakan. Beda dengan karyawan, kerja keras atau tidak, tidak begitu ngefek pada penghasilan. Ya itulah fakta. Suatu keputusan yang sarat dengan resiko baik jangka pendek maupun panjang. Tetapi dia telah ambil keputusan itu dan saya yakin dia sudah perhitungkan resikonya. Dan itulah tipe seorang wira usaha : BERANI AMBIL RESIKO.

Kembali ke hotel saya merenung, percakapan saya dengan 2 teman tadi bukanlah sebuah kebetulan tetapi Tuhan memberikan inspirasi kepada saya. Saya harus belajar menjadi seorang wira usaha. Jangan hanya jadi karyawan yang puas dengan upah atau gaji. Dengan jadi wira usaha, bukan hanya bisa mengatur diri sendiri tetapi kita bisa mengembangkan diri sesuai idealisme dan yang tidak kalah pentingnya bisa membuka lowongan kerja bagi orang lain. Saya teringat cita-cita saya waktu kuliah dulu : pengin punya bisnis sendiri tidak terlalu besar tetapi solid dan jadi contoh dalam banyak hal bagi perusahaan lain. Cita-cita ini nampaknya sudah saya lupakan karena sudah merasa nyaman jadi karyawan. Tuhan seolah-oleh mengingatkan cita-cita lama saya yang sudah terkubur dalam-dalam. Sebelum usia bertambah tua Tuhan mengingatkan karena semakin tua makin tidak berani mengambil resiko. Saya teringat, kedua teman saya selalu ”mengejek”, jabatan setinggi apapun kalau hanya sebagai karyawan itu bukan apa-apa. Kalau sudah menjadi wira usaha barulah kita berprestasi dan bisa berbangga. Saya rasa kata-kata teman saya ini ada benarnya.

Saya teringat, beberapa bulan yang lalu saya diminta memberikan ceramah dalam pertemuan perusahaan teman saya yang lain di Jogjakarta. Teman saya ini memiliki usaha dengan jumlah karyawan yang relatif banyak dan wilayah pemasaran dibeberapa kota di Indonesia bahkan dibeberapa kota, market share penjualan produknya yang terbesar. Awalnya saya senang bisa memberikan ceramah ditengah-tengah meeting perusahaan. Tetapi ketika memulai sesi ceramah, saya merasa tidak ada apa-apanya dengan teman saya ini. Saya jujur mengatakan kepada audiens :”saya ini bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, yang hebat adalah Bos anda. Sejak dulu saya ingin menjadi pengusaha tetapi belum bisa karena tidak berani mengambil resiko. Tetapi bos anda ini lebih muda dari saya tetapi sudah punya perusahaan yang cukup bisa dibanggakan. Oleh karena itu saya hanya akan bicara tentang konsep yang saya tahu bukan pengalaman bisnis saya.” Ya saya malu. Seringkali saya dipanggil memberikan ceramah atau konsultasi manajemen atau bisnis tetapi kok saya hanya jadi karyawan terus. Saya merenung apa yang salah ? Kesalahan pertama, saya merasa sudah nyaman jadi karyawan. Kesalahan kedua, saya tidak pernah berani mengambil resiko untuk berbisnis.

Beberapa teman dekat saya juga sering memotivasi saya agar mulai berbisnis sendiri. Mereka mengatakan, skill dan pengetahuan kan sudah lumayan, kenapa tidak mulai membangun bisnis sendiri ? Ya.. ini memang patut bahkan sangat layak untuk dipertimbangkan.

Terima kasih Tuhan, terima kasih teman-teman dan terima kasih pasar senggol...