Kamis, 01 Oktober 2009
SETELAH MEREKRUT DAN MENEMPATKAN SDM, APA YANG HARUS KITA LAKUKAN ?
Oleh : E. Hindro Cahyono
Salah seorang Saudara, sebut saja namanya Bejo, baru saja curhat tentang masa lalunya ketika dia baru saja masuk bekerja dalam suatu institusi. Dia menceritakan pengalamannya ketika dimarahi habis-habisan oleh ”bos besar”. Masalahnya sepele, setelah dia diterima bekerja, dia diserahkan oleh ”bos besar” kepada seorang Kepala Bagian untuk dipekerjakan. Namun saat Bejo bertanya tentang tugas yang harus dikerjakan, Kepala Bagiannya menjawab ”Udahlah santai aja, duduk duduk, baca koran dan jalan-jalan saja..”. Aneh.. tetapi karena ”lugu” Bejo ini taat sama sang Kepala Bagian, tugasnya di kantor hanyalah duduk-duduk, baca koran dan jalan-jalan di lingkungan kantor.
Apa yang terjadi selanjutnya ? Bejo menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Dia dikatakan : ”malas.., makan gaji buta.. ”. Masalah ini akhirnya sampai juga ke telinga ”bos besar” . Akhirnya dia dipanggil dan dimarahi habis-habisan tanpa diberi waktu untuk memberikan penjelasan. Di lain waktu setelah ”bos besar” reda amarahnya, Bejo dipanggil lagi dan diberi waktu untuk menjelaskan. Dia mengatakan bahwa, telah meminta tugas yang harus dikerjakan tetapi Kepala Bagiannya tidak memberikan penugasan apapun. Akhirnya ”bos besar” tahu dan paham bahwa masalahnya bukan pada Bejo tetapi ada pada pihak manajemen karena memberikan penugasan sehingga Bejo tidak tahu apa yang harus dikerjakan.
Ilustrasi nyata ini menarik. Seringkali seorang karyawan divonis kinerjanya buruk, malas atau tidak kompeten padahal sumber masalahannya bukan pada karyawan tetapi ada pada pihak manajemen. Kenapa bisa begitu ? Ada hal yang kadang dilupakan oleh pihak manajemen. Sebelum merekruit karyawan mestinya sudah dilakukan analisis kebutuhan tenaga. Jika dari hasil analisa menunjukkan perlu tambahan tenaga maka baru dilakukan proses rekruitmen. Persoalannya adalah apakah setelah rekruitmen dan menempatkan karyawan dalam suatu bagian tertentu tugas manajemen selesai ? Jawabnya BELUM !!! Ada hal yang sangat penting setelah proses rekruitmen selesai yaitu menjelaskan kepada karyawan tentang aturan main organisasi dan apa yang diharapkan oleh organisasi/manajemen dari pekerjaan karyawan tersebut selama dia bekerja di organisasi.
Secara lebih detail hal-hal penting yang perlu dijelaskan oleh manajemen kepada karyawan (baru) adalah :
1. Karyawan perlu memahami struktur organisasi, prosedur, peraturan dan budaya organisasi. Struktur organisasi perlu dijelaskan agar karyawan baru memahami posisinya dimana, harus diperintah dan bertanggungjawab kepada siapa, harus berkoordinasi dengan siapa saja dll. Prosedur diperlukan agar karyawan dalam bekerja bisa menyesuaikan diri dengan aturan main organisasi sehingga tidak akan menimbulkan konflik dengan bagian dan pihak lain. Sedangkan peraturan penting bagi karyawan agar bisa memahami apa saja yang menjadi hak, kewajiban, larangan, tata tertib dll. Jika tidak ada penjelasan terhadap hal-hal di atas, karyawan baru akan bekerja menurut persepsinya sendiri atau bekerja dalam keraguan karena tidak tahu cara kerjanya benar atau salah. Bisa jadi dia merasa bingung ketika dia merasa sudah bekerja dengan baik tetapi kinerjanya dinilai buruk oleh atasannya atau teman sekerjanya. Hal lain yang perlu dijelaskan kepada karyawan adalah budaya kerja organisasi (corporate culture). Budaya kerja ini adalah nilai-nilai dan kebiasaan dalam organisasi yang tidak terlulis tetapi sudah menjadi budaya/kebiasaan dalam bersikap dan berperilaku. Misalnya, harus mengucapkan selamat pagi/siang ketika bertemu dengan atasan atau teman sekerja atau klien, mematikan HP saat rapat, berdoa sebelum dan sesudah bekerja dll. Budaya positif yang akan dikembangkan dalam organisasi seharusnya dijelaskan kepada karyawan baru agar dia bisa menyelarasnya perilakunya dengan nilai-nilai dan budaya organisasi.
2. Karyawan membutuhkan kejelasan dan ketetapan uraian tugas, batasan wewenang dan tanggungjawabnya. Uraian tugas sangat penting bagi karyawan agar dia paham betul tentang tugas yang harus dikerjakan. Batasan wewewang diperlukan agar karyawan memahami hal-hal apa saja yang menjadi wewenangnya (misalnya dalam pengambilan keputuskan, penggunaan fasilitas, meminta fasilitas, mengusulkan atau merubah cara kerja dll). Tanggungjawab berkaitan dengan sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan oleh seorang karyawan, baik menyangkut pelaksanaan tugas maupun kualitas hasil kerja. Tanggung jawab ini akan menjadi ukuran baik buruknya keinerja seorang karyawan. Misalnya, seorang kasir menerima uang palsu, ini tanggungjawab siapa ? Jika kasir tidak disediakan alat deteksi uang palsu apakah tepat membebankan tanggungjawab kepada kasir ? Apakah itu bukan tanggungjawab manajemen yang tidak menyediakan fasilitas yang memadai ? Kesalahan input data oleh petugas yang menyebabkan harga yang harus dibayar konsumen lebih kecil (petusahaan rugi). Ini menjadi tanggungjawab siapa ? Petugas yang input data atau kasir ? Batasan tanggungjawab ini harus ditetapkan dengan jelas dan proporsional sesuai uraian tugas dan wewenangnya. Harus dihindari pembebanan tanggungjawab kepada karyawan yang tidak sesuai dengan tugas dan wewenangnya.
3. Manajemen perlu menetapkan dan menjelaskan key performance indicator (KPI) atau indikator kinerja yang akan digunakan untuk mengukur baik buruknya kinerja karyawan. Misalnya : Seorang Bendahara, KPI nya adalah :
a. Kesalahan pembayaran : 0
b. Kesalahan penulisan cek/giro : 0
c. Keterlambatan pembayaran melebihi jatuh tempo : 0
d. Kesalahan entry data : 0
e. Penyelesaian laporan arus kas paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
f. Angka terlambat masuk dinas maksimal 2 kali sebulan tdk lebih 30 menit.
Hal-hal tersebut diatas sangat dibutuhkan baik oleh manajemen maupun oleh karyawan agar harapan manajemen dapat dipahami oleh karyawan. Disisi lain karyawan dapat berusaha menyelarasakan perilakunya untuk memenuhi harapan manajemen. Persoalannya adalah seringkali manajemen tidak menetapkan secara formal uraian tugas, wewenang, tanggungjawab dan KPI karyawan. Jika hal itu tidak ditetapkan bagaimana bisa menjelaskan secara gamblang kepada karyawan ??? Akibatnya manajemen dan karyawan sama-sama tidak puas karena tidak jelas apa yang harus dikerjakan dan apa indikator yang digunakan untuk menilai kinerja karyawan. Maka tidak heran dalam penilaian kinerja karyawan seringkali tidak obyektif dan rawan konflik karena indikatornya tidak jelas.
Untuk itu bagi manajemen, mulailah menetapkan uraian tugas, wewenang, tanggung jawab, KPI, prosedur, budaya kerja. Setelah ditetapkan jangan lupa komunikasikan kepada semua karyawan agar mereka paham dan menyelarasakan perilakuk kerjanya dengan standar yang telah ditetapkan.
Bagi para karyawan, tanyakan kepada manajemen tentang hal-hal diatas. Jika belum ada mintalah waktu untuk mendiskusikan dan membuat kesepakatan.
Selamat berkerja dan berprestasi..
Bersyukur atas klaim Malaysia terhadap BUDAYA ASLI INDONESIA
Oleh : E. Hindro Cahyono
Dulu saat bepergian, saya suka membeli tanaman. Meski rumah saya kecil dan tidak punya lahan untuk menanam pohon namun saya tetap membelinya untuk ditanam di pot. Salah satu pohon yang pernah saya beli adalah pohon sawo kecik. Pohon ini sengaja saya beli karena mengingatkan saya dimasa kecil ketika hidup di desa. Pohon itu saya tanam di pot yang relatif besar.
Kebiasaan saya yang suka menanam pohon ternyata tidak diimbangi dengan kesukaan saya untuk memelihara tanaman. Menyirami, memupuk atau memelihara secara rutin sangat jarang saya lakukan. Istri saya yang rajin menyiram tanaman tetapi kebiasaaan merawat dan memupuk sering lupa saya lakukan. Akibatnya beberapa tanaman tidak bertumbuh bahkan mulai mengering. Salah satu yang tidak bisa bertumbuh adalah pohon sawo kecik.
Suatu saat setelah saya pergi beberapa hari, tanaman sawo kecik saya tersebut sudah lenyap dari rumah. Saya bertanya pada istri, dia menjawab kalau pohon sawo kecik tersebut sudah diberikan kepada seorang teman saya. ”Lho kenapa kok dikasihkan ?” tanya saya. Dia jawab :”Dari pada disini tidak bisa berkembang atau bahkan mati, kan lebih baik dirawat orang lain yang memiliki lahan yang cukup dan bisa merawat tanaman” begitu istri saya menjawab. Meski saya agak jengkel karena dia memberikan pohon saya kepada orang lain, tetapi saya diam saja karena perkataan istri saya ada benarnya.
Apa hubungannya cerita di atas dengan judul tulisan ini ? Cerita tersebut hanyalah sebuah analogi tentang budaya asli bangsa kita yang sekarang sedang ramai dibicarakan karena ada beberapa yang diklaim oleh negara tetangga. Ditengah demonstrasi dan hujatan masyarakat Indonesia kepada negara tetangga, saya justru merenung atas peristiwa tersebut. Kadang saya berfikir :”Bukankah lebih baik budaya kita diperlihara, dilestarikan dan dikembangkan bangsa lain daripada di negeri sendiri tidak ada yang memelihara, melestarikan dan mengembangkannya ?”. Bukankah negera lain lebih bisa menghargai budaya Indonesia bahkan mempromosikannnya kepada bangsa-bangsa lain ? Sementara kita sendiri tidak menghargai bahkan menelantarkannya begitu saja. Saya berpendapat di era global sekarang ini, jika berbicara masalah budaya yang paling penting bukan masalah asal usul budaya itu tetapi siapa (masyarakat atau bangsa) yang bisa memelihara dan mengembangkannya bagi kemajuan dan kebesaran masyarakat atau bangsa itu. Sekarang ini burger, fried chicken, pizza yang berasal dari luar negeri juga berkembang di negara kita tetepi kan negara asalnya tidak ada yang protes malah mereka secara sadar mengembangkan ke negara-negara luar. Mereka bangga dan mendapat banyak manfaat dari hal ini. Demikian juga dengan lagu-lagu jazz, rock, country, dansa, disco dan sejenisnya berkembang di negara-negara lain tetapi negara asal budaya itu tidak merasa rugi atau merasa budayanya di klaim negara lain. Saya kawatir jangan-jangan kita sering protes ke Malaysia ketika ada budaya atau makanan Indonesia masuk dalam daftar budaya atau makanan yang dipromosikan sebagai daya tarik wisata Malaysia karena kita sendiri sedang ketakutan karena hal itu lebih bisa berkembang di negara lain, sementara di negara kita sendiri sedang dalam proses dilupakan. Menurut saya budaya apapaun (kesenian, pakaian, makanan dll) akan bisa bertahan dan berkembang tidak ditentukan dari mana dia berasal tetapi tergantung dari negera mana yang bisa memberi ruang untuk bertahan dan berkembang. Ini berarti kalau Indonesia ingin budaya asli kita bisa berkembang di negara kita sendiri, maka perlu upaya serius dan sistematis untuk mengembangkannya di Indonesia.
Selama seminggu ini saya liburan di desa asal saya di Wonogiri. Biasa sehabis lebaran banyak orang yang memiliki kerja menikahkan anak. Ada yang sangat berbeda kebiasaan orang jaman ini dengan jaman saya waktu kecil. Kebiasaan di waktu kecil kalau ada orang yang menikahkan anaknya, mereka sering “menanggap” wayang kulit semalam suntuk. Anak-anak pada memahami wayang sebagai budaya kita. Mereka mengenal tokoh-tokoh seperti pandawa, kurawa dan punokawan. Mereka bisa belajar bagaimana menjadi manusia yang memiliki pribadi seperti pandawa dan menghindari pribadi seperti kurawa. Tetapi apa yang terjadi sekarang ? Wayang sudah tidak ada lagi tetapi digantikan dengan orkes dangdut atau campursari. Mereka hanya bersenang-senang tetapi tidak ada pelajaran yang dipetik tetapi justru sebaliknya anak-anak kecil sudah belajar perilaku dan kata-kata jorok. Bagaimana tidak ? Mereka mengenal akrab lagu cucak rowo, sms, bojo loro dll. Norak bahkan merusak...!!!
Waktu saya masih SD setiap tahun di tingkat kecamatan selalu ada lomba, baik olah raga maupun tari-tarian tradisional. Sedangkan di kelurahan selalu ada pentas seni : ada tarian, ketoprak, bahkan wayang kulit tetapi sekarang semua itu sudah tidak ada dan digantikan dengan campursari atau dangdut.
Jika anak-anak jaman sekarang sudah tidak mengenal budayanya sendiri, maka ketika dewasa 10 atau 20 tahun kedepan orang Indonesia sudah tidak mengenal lagi budayanya. Nah kalau seperti ini apakah akan dibiarkan budaya asli indonesia akan kita biarkan sirna ditelan jaman ? Bukankan lebih baik jika budaya asli indonesia dipelajari dan dikembangkan diluar negeri ?
Saya tidak bermaksud mengajak kita kembali ke masa lalu tetapi saya hanya mengingatkan bahwa kalau kita ingin budaya kita tetap terpelihara bahkan bisa berkembang maka perlu adanya ruang dan media untuk memelihara, mengembangkan bahkan melakukan transfer kepada generasi berikutnya. Tanpa hal itu budaya kita akan sirna oleh jaman.
Terus terang, hati kecil saya merasa bersukur ketika Malaysia memasukkan beberapa budaya asli Indonesia dalam iklan promosi pariwisata negara itu. Sukur saya bukan karena budaya kita yang diakui oleh mereka tetapi lebih karena peristiwa itu menyadarkan kita tentang beberapa hal :
1) peristiwa itu mengingatkan kita bahwa budaya kita yang saat ini pelan-pelan sudah mulai kita lupakan ternyata bagi negara lain menjadi sesuatu yang memiliki “nilai lebih” dan memiliki daya tarik wisata,
2) peristiwa itu memacu kita untuk memeiliki perhatian yang lebih terhadap pengembangan budaya bangsa sekaligus menyadarkan kita bahwa dibutuhkan upaya sistematis untuk memelihara dan mengembangkan budaya asli kita baik melalui pendidikan formal maupun melalui aktivitas dalam masyarakat,
3) di masa global ini jika budaya kita tidak kita pelihara sendiri maka tidak bisa dihalangi jika budaya kita akan dikembangkan di negara lain.
Persoalannya adalah apa yang akan kita lakukan berikutnya ? Upaya menginvetarisi budaya asli Indonesia dan mendaftarkan di UNESCO memang cukup baik tetapi tidaklah cukup. Yang lebih penting adalah bagaimana kita membuktikan kepada semua bangsa bahwa kita lebih mampu mengembangkan dan memanfaatkan budaya kita bagi peningkatan harga diri bangsa dan kesejahteraan rakyat. Perlu upaya untuk melestarikan secara sistematis dan memberikan ruang untuk bertumbuh dan berkembang. Jika hal tersebut tidak bisa kita laksanakan kita tidak perlu protes jika bangsa lain yang mengembangkannya. Malah kita perlu bersyukur karena mereka telah melestarikan budaya kita... Sama seperti pohon sawo kecik milik saya, lebih baik dipelihara orang lain karena bisa tumbuh subur dan berkembang daripada mati dirumah saya karena tidak dipelihara dengan baik. Itu hanya pendapat saya, anda boleh tidak setuju.. tapi jangan menuduh saya “pro Malaysia” dan anda tidak boleh demo kepada saya...! He..he..he..
Manajemen Mutu : Antara Continous Improvement dan Standard Operating Procedure (SOP)
Pengantar
Dalam pekerjaan kita sehari-hari sering kita menemui banyak masalah dan kesalahan. Misalnya : komplain dari pelanggan (internal atau eksternal), salah cetak, salah pemeriksaan, salah menyerahkan barang, kehilangan barang dll. Masalah dan kesalahan itu kadang sering terjadi. Tetapi apa yang kita lakukan ? Banyak diantara kita yang diam membiarkan saja tanpa tindakan apapun dengan harapan suatau saat akan selesai dengan sendirinya. Benarkah akahirnya selesai dengan sendirinya ? Mungkin ada yang selesai namun kebanyakan masalah dan kesalahan itu tetap saja terjadi dan kita sudah menjadi terbiasa bekerja dengan masalah dan kesalahan. Lingkungan dan budaya kerja kita menjadi buruk karena sudah akrab dengan lingkungan yang terbiasa dan toleran terhadap masalah dan kesalahan. Apa akibatnya ? Kita bekerja dan berkinerja dibawah standar dan tidak ada kemajuan bahkan terjadi penurunan. Jika hal ini terjadi dalam semua bagian di suatu organisasi maka bersiap-siaplah menuju kehancuran.
Faktor Yang Menghambat Upaya Perbaikan Berkelanjutan
Dalam konsep manajemen mutu, dikenal istilah perbaikan berkelanjutan atau continous improvement. Perbaikan berkelanjutan ini merupakan suatu upaya untuk melakukan perbaikan secara terus menerus agar produk (barang atau jasa) yang kita hasilkan menjadi lebih sempurna sesuai kebutuhan dan keinginan konsumen. Upaya untuk melakukan perbaikan berkelanjutan ini sebenarnya merupakan kunci penting dalam manajemen mutu, namun seringkali terkendala oleh 3 faktor. Faktor yang pertama adalah standar. Seringkali organisasi tidak memiliki standar mutu yang ditetapkan atas hasil kerja karyawan. Misalnya : berapa waktu tunggu seorang klien akan dilayani oleh seorang kasir, berapa angka kesalahan input data yang bisa diterima, berapa angka kerusakan alat yang boleh terjadi selama setahun dst. Tanpa ada standar ini maka sulit untuk menilai, mengukur dan meningkatkan kinerja karyawan/organisasi. Seorang manajer dan bawahan bisa terus berdebat ketika membicarakan kinerja. Seorang atasan bisa menilai buruk pada bawahan tetapi sebaliknya bawahan bisa membela diri bahwa kinerjanya sudah cukup bagus. Perdebatan itu bisa tidak berakhir selama standarnya belum ada dan belum ditetapkan. Standar seperti ini harusnya ditetapkan oleh manajemen dan disampaikan kepada karyawan. Dalam menetapkan standar sebaiknya bisa terukur sebab sesuatu yang tidak bisa diukur biasanya sulit untuk ditingkatkan. Faktor yang kedua adalah budaya. Faktor budaya ini terkait erat dengan kebiasaan dan latar belakang individu baik manajer maupun bawahan. Banyak diantara kita ketika sakit batuk dibiarkan saja toh nanti akan sembuh dengan sendirinya. Hal seperti ini kadang terbawa dalam dunia kerja. Ketika ada masalah atau kesalahan dibiarkan saja tanpa ada usaha untuk memperbaiki dengan alasan toh nanti akan selesai dengan sendirinya. Oleh karena itu jangan heran jika dalam suatu oragnisasi, masalah yang berulang terjadi bertahun-tahun tidak pernah terselesaikan. Makin lama, kita makin akrab dan sudah terbiasa hidup dalam masalah dan kesalahan yang berulang-ulang. Faktor ketiga adalah persepsi yang salah terhadap SOP (standar operating procedure), SOP sering dipahami sebagai prosedur kerja baku yang tidak bisa diubah. Oleh karena itu kita selalu merasa sudah benar jika bekerja sesuai SOP yang berlaku. Apakah pendapat ini salah ? Tergantung...! Pendapat ini benar jika kita sebagai robot tetapi sebagai manusia mestinya kita harus bisa melakukan evaluasi, apakah SOP yang kita gunakan menimbulkan masalah atau tidak.
Memang benar bahwa SOP merupakan standar proses kerja, namun jangan lupa bahwa tidak ada SOP yang sempurna. Dalam banyak kasus SOP kadang menjadi penghambat untuk mencapai mutu yang diharapkan. Jika SOPnya bermasalah dan tidak dilakukan revisi maka akan terjadi permasalahan atau kesalahan yang berulang-ulang.
Mana yang lebih penting Continous Improvement atau SOP ?
Keduanya dibutuhkan dalam pencapaian mutu. Untuk mencapai sasaran/standar mutu yang diharapkan maka perlu dibuat SOP yang tepat. Persoalannya seringkali SOP dibuat dengan cara mencontoh dari tempat yang lain atau dibuat oleh orang yang tidak kompteten membuat SOP sehingga tidak “applicable” dan tidak tepat. Sebenarnya mencontoh tempat lain tidaklah dilarang namun yang harus diperhatikan SOP harus disesuaikan dengan situasi setempat sehingga bisa diterapkan dan efektif untuk mencapai sasaran/standar mutu yang telah ditetapkan. Bagaimana kita tahu SOP yang kita gunakan efektif atau tidak ? Disinilah perlunya dilakukan evaluasi. Evaluasi bisa dilakukan secara periodik bisa juga dilakukan secara insidental khususnya ketika terjadi kesalahan atau kejadian yang tidak diharapkan. Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh termasuk evaluasi terhadap SOP yang saat ini digunakan. Jika ternyata SOPnya yang bermasalah dan tidak efektif untuk mencapai sararan/standar mutu maka perlu dilakukan revisi.
SOP adalah alat untuk mencapai tujuan yaitu sasaran/standar mutu. Sebagai alat, maka SOP harus flexible untuk dirubah jika tidak efektif. Dengan kata lain, demi perbaikan, SOP bisa direvisi atau dirubah sama sekali dengan SOP yang baru. Jadi meskipun continous improvement dan SOP sama-sama penting namun continous improvement harus melandasi semua upaya peningkatan mutu. Demi continous improvent, SOP harus tunduk dan siap direvisi bahkan diganti dengan SOP yang sama sekali baru.
Apakah SOP bisa dirubah setiap saat ? Prinsipnya SOP bisa direvisi setiap saat demi perbaikan bukan direvisi sekedar demi perubahan . Namun yang harus diperhatikan, tidak setiap orang bisa merubah ”semau gue”. Perubahan SOP harus dilakukan melalui prosedur yang benar. Ada proses evaluasi, proses penyusunan konsep perubahan, proses otorisasi (pengesahan) dan proses sosialisasi. Proses-proses tersebut harus dilakukan dengan benar agar efektif dan esisien. Jika prosesnya tidak benar bisa jadi akan timbul kekacauan atau kontra produktif.
Kuncinya, secara teknis bekerjalah sesuai SOP secara konsisten namun jangan bertindak seperti robot, tetaplah kritis terhadap SOP. Tetaplah konsisten dengan semangat untuk melakukan proses perbaikan berkelanjutan tiada henti. Aturan apapun bisa dirubah bahkan bisa ”didobrak” demi perbaikan. Namun jangan lupa alasannya harus rasional dan proses merubahnya harus dilakukan dengan cara yang benar.
BUDAYA MENANTANG RESIKO
Oleh : E. Hindro Cahyono
Dalam setiap kali perjalanan seringkali saya merasa terusik oleh perilaku pengendara kendaraan bermotor yang berperilaku ugal-ugalan yang beresiko mencelakakan diri sendiri atau orang lain. Coba kita lihat, traffic light sudah berwarna merah masih saja diterobos, belok dari gang ke jalan besar tanpa melihat kanan dan kiri, menyalib kendaraan lain dan langsung memotong didepan kendaraan, naik sepeda motor sangat kencang dengan membawa anak kecil duduk didepan tanpa helm. Dan yang lebih menakutkan ketika palang kereta api sudah ditutup ada beberapa sepeda motor yang nekad menerabas melewati palang kereta api. Astagafirullah…orang kok nggak “ngeman” nyawanya sendiri.
Di beberapa tempat kerja kita lihat, orang sedang “ngelas” tidak menggunakan kacamata las. Orang yang bekerja di kamar cuci rumah sakit tidak mau menggunakan sarung tangan, masuk ke ruang genset tidak menggunakan penutup telinga dan lain-lainnya. Kadang saya bertanya :”mengapa tidak menggunakan alat pelindung diri ?” Mereka dengan enteng menjawab ”nggak mau ribet” atau ”alat pelindung dirinya sudah rusak”. Ya ampun... saya yang nglihat mereka bekerja saja merasa was-was dengan keselamatan mereka, tapi kok mereka sendiri nggak peduli dengan keselamatannya sendiri.
Gejala apa ini sebenarnya ? Saya menyebutnya sebagai ”budaya menantang resiko yang ”tidak cucuk”(resiko tidak sebanding dengan hasilnya). Mengapa budaya seperti ini bisa terjadi ? Mereka tidak paham tentang resiko keselamatan diri atau sebenarnya paham tetapi tidak mau tahu karena resikonya dianggap terlalu kecil tidak sebanding dengan ribetnya menggunakan alat pelindung diri ?
Bagaimana harus menyikapi hal ini ? Apakah untuk menyadarkan masyarakat tentang resiko keselamatan diri harus menunggu waktu dengan membiarkan mereka melihat fakta setelah nanti terjadi banyak korban ? Ataukah ada cara lain untuk menyadarkannya tanpa harus menunggu banyak korban ?
Sebagai pejabat pemerintah atau manajer suatu organisasi yang harus memikirkan keselamatan rakyatnya atau anggota organisasinya mestinya harus bertindak proaktif. Perlu melakukan tindakan yang sistematis untuk menyadarkan masyarakat atau anggota organisasi sebelum terjadi banyak korban. Bagaimana caranya ? Saya berpendapat perlu cara yang komprehensif untuk menyadarkan masyarakat dari budaya yang ”tidak cucuk” ini. Beberapa cara ini bisa dilakukan khususnya dalam konteks di jalan raya dan di perusahaan.
Cara pertama adalah perlunya kampanye menyadarkan masyarakat. Misalnya, dipasang tanda peringatan di jalan yang menjelaskan kepada masyarakat cara berkendara yang benar dan resiko keselamatan jika melanggar. Misalnya, cara mendahului (menyalip) kendaraan dengan benar, cara berbelok yang benar dll. Iklan di televisi saya rasa juga cukup efektif seperti iklan penggunaan helm atau penggunaan sabuk keselamatan yang pernah ditayangkan di televisi. Di tingkat perusahaan juga bisa dilakukan dengan upaya sosialisasi atau pemasangan tanda-tanda wajib menggunakan alat pelindung diri yang benar.
Cara yang kedua adalah perlunya dibuat aturan dan dilakukan law enforcement jika terjadi pelanggaran. Penertiban pengguna kendaraan yang sering dilakukan sering hanya melihat surat-surat kendaraan, SIM dan pelanggaran traficlight atau marka. Perlu upaya lain melakukan penertiban dengan pengamatan di jalanan. Pengendara yang ugal-ugalan, mendahului secara membahayakan, berbelok secara ngawur harus diberi pelajaran dengan cara ditilang. Di tingkat perusahaan juga begitu, ketentuan penggunaan alat pelindung diri harus ditetapkan dan karyawan yang tidak disiplin menggunakan alat pelindung diri harus diberikan tegoran atau surat peringatan.
Cara yang ketiga adalah perlu melibatkan pihak-pihak yang memiliki akses untuk mempengaruhi masyarakat. Misalnya, lembaga agama, tokoh masyarakat, LSM dll. Pihak-pihak ini bisa berperan signifikan untuk mempengaruhi masuarakat.
Cara keempat adalah membuat lomba dan mengumumkan ke publik tentang daerah-daerah yang memiliki prestasi tertib lalu lintas, angka kecelakaan nol untuk memacu setiap daerah agar lebih tertib. Di tingkat perusahaan juga bisa dilakukan hal yang sama. Lomba antar bagian, bagi yang tertib menggunakan alat pelindung diri dan angka kecelakaan kerja nol akan mendapatkan penghargaan.
Cara-cara di atas bisa dilakukan secara bersama-sama terlebih jika kondisinya sudah parah perlu bermacam-macam cara yang secara terpadu bisan digunakan agar lebih efektif.
Dalam setiap kali perjalanan seringkali saya merasa terusik oleh perilaku pengendara kendaraan bermotor yang berperilaku ugal-ugalan yang beresiko mencelakakan diri sendiri atau orang lain. Coba kita lihat, traffic light sudah berwarna merah masih saja diterobos, belok dari gang ke jalan besar tanpa melihat kanan dan kiri, menyalib kendaraan lain dan langsung memotong didepan kendaraan, naik sepeda motor sangat kencang dengan membawa anak kecil duduk didepan tanpa helm. Dan yang lebih menakutkan ketika palang kereta api sudah ditutup ada beberapa sepeda motor yang nekad menerabas melewati palang kereta api. Astagafirullah…orang kok nggak “ngeman” nyawanya sendiri.
Di beberapa tempat kerja kita lihat, orang sedang “ngelas” tidak menggunakan kacamata las. Orang yang bekerja di kamar cuci rumah sakit tidak mau menggunakan sarung tangan, masuk ke ruang genset tidak menggunakan penutup telinga dan lain-lainnya. Kadang saya bertanya :”mengapa tidak menggunakan alat pelindung diri ?” Mereka dengan enteng menjawab ”nggak mau ribet” atau ”alat pelindung dirinya sudah rusak”. Ya ampun... saya yang nglihat mereka bekerja saja merasa was-was dengan keselamatan mereka, tapi kok mereka sendiri nggak peduli dengan keselamatannya sendiri.
Gejala apa ini sebenarnya ? Saya menyebutnya sebagai ”budaya menantang resiko yang ”tidak cucuk”(resiko tidak sebanding dengan hasilnya). Mengapa budaya seperti ini bisa terjadi ? Mereka tidak paham tentang resiko keselamatan diri atau sebenarnya paham tetapi tidak mau tahu karena resikonya dianggap terlalu kecil tidak sebanding dengan ribetnya menggunakan alat pelindung diri ?
Bagaimana harus menyikapi hal ini ? Apakah untuk menyadarkan masyarakat tentang resiko keselamatan diri harus menunggu waktu dengan membiarkan mereka melihat fakta setelah nanti terjadi banyak korban ? Ataukah ada cara lain untuk menyadarkannya tanpa harus menunggu banyak korban ?
Sebagai pejabat pemerintah atau manajer suatu organisasi yang harus memikirkan keselamatan rakyatnya atau anggota organisasinya mestinya harus bertindak proaktif. Perlu melakukan tindakan yang sistematis untuk menyadarkan masyarakat atau anggota organisasi sebelum terjadi banyak korban. Bagaimana caranya ? Saya berpendapat perlu cara yang komprehensif untuk menyadarkan masyarakat dari budaya yang ”tidak cucuk” ini. Beberapa cara ini bisa dilakukan khususnya dalam konteks di jalan raya dan di perusahaan.
Cara pertama adalah perlunya kampanye menyadarkan masyarakat. Misalnya, dipasang tanda peringatan di jalan yang menjelaskan kepada masyarakat cara berkendara yang benar dan resiko keselamatan jika melanggar. Misalnya, cara mendahului (menyalip) kendaraan dengan benar, cara berbelok yang benar dll. Iklan di televisi saya rasa juga cukup efektif seperti iklan penggunaan helm atau penggunaan sabuk keselamatan yang pernah ditayangkan di televisi. Di tingkat perusahaan juga bisa dilakukan dengan upaya sosialisasi atau pemasangan tanda-tanda wajib menggunakan alat pelindung diri yang benar.
Cara yang kedua adalah perlunya dibuat aturan dan dilakukan law enforcement jika terjadi pelanggaran. Penertiban pengguna kendaraan yang sering dilakukan sering hanya melihat surat-surat kendaraan, SIM dan pelanggaran traficlight atau marka. Perlu upaya lain melakukan penertiban dengan pengamatan di jalanan. Pengendara yang ugal-ugalan, mendahului secara membahayakan, berbelok secara ngawur harus diberi pelajaran dengan cara ditilang. Di tingkat perusahaan juga begitu, ketentuan penggunaan alat pelindung diri harus ditetapkan dan karyawan yang tidak disiplin menggunakan alat pelindung diri harus diberikan tegoran atau surat peringatan.
Cara yang ketiga adalah perlu melibatkan pihak-pihak yang memiliki akses untuk mempengaruhi masyarakat. Misalnya, lembaga agama, tokoh masyarakat, LSM dll. Pihak-pihak ini bisa berperan signifikan untuk mempengaruhi masuarakat.
Cara keempat adalah membuat lomba dan mengumumkan ke publik tentang daerah-daerah yang memiliki prestasi tertib lalu lintas, angka kecelakaan nol untuk memacu setiap daerah agar lebih tertib. Di tingkat perusahaan juga bisa dilakukan hal yang sama. Lomba antar bagian, bagi yang tertib menggunakan alat pelindung diri dan angka kecelakaan kerja nol akan mendapatkan penghargaan.
Cara-cara di atas bisa dilakukan secara bersama-sama terlebih jika kondisinya sudah parah perlu bermacam-macam cara yang secara terpadu bisan digunakan agar lebih efektif.
Minggu, 09 November 2008
Inspirasi Dari Pasar Senggol
Tanggal 22-24 Juli 2008, saya mengikuti seminar di Jakarta. Kebetulan saya menginap di Hotel Ciputra Jakarta Barat. Sebagai ”anak singkong” lidah saya seringkali tidak cocok dengan masakan hotel berbintang. Oleh karena itu setiap makan malam biasanya saya selalu mencari makanan tradisional, entah nasi uduk, ayam goreng, sate, atau lainnya. Bagi saya makan di warung tenda lebih enak dari pada di hotel. Rasanya lebih cocok dengan lidah saya, selain harganya juga lebih pas dengan isi dompet saya (alasan lidah dan alasan ekonomis).
Malam itu saya mencoba jalan-jalan mencari makan. Di beberapa warung makan pingir jalan nampaknya tidak ada satupun yang cocok. Kebetulan hotel Ciputra satu lokasi dengan Mall Ciputra. Saya teringat biasanya di mall ada food court atau pujasera. Saya mencoba menaiki lantai mall sampai di lantai paling atas. Saya melihat di lantai paling atas, ada tulisan Pasar Senggol dengan bentuk tulisan yang memancing saya untuk melihat kedalamnya. Ah pucuk dicinta ulam tiba. Ternyata di Pasar Senggol ini, adalah food court yang isinya makanan tradisional, ada sate kambing, soto betawi, soto ambengan, nasi timbel dll. Wah rasanya seneng karena banyak pilihan makanan yang sesuai dengan lidah saya.
Setelah pesan makanan, saya mencoba melihat-lihat diseluruh ruangan. Ada solo organ, ada banyak wanita yang merokok, dan pada umumnya orang datang berkelompok minimal berdua. Wah.. saya jadi seperti orang aneh karena sendirian. Yang lain pada ngobrol tetapi saya sendirian tak ada teman. Akhirnya saya teringat dengan beberapa teman lama yang tinggal di jakarta dan saya mencoba telpon mereka.
Yang pertama saya telpon pada teman yang keturunan manado. Teman saya ini sejak awal memang tidak pernah berniat jadi karyawan. Dia memang tipe wirausaha. Sudah beberapa tahun dia membuat usaha sendiri, dan nampaknya sampai sekarang masih eksis. Duh saya ikut senang, bangga dan pengin jadi pengusaha sendiri seperti dia.
Yang kedua, saya telpon teman yang bekerja di Garuda. Dia selama ini selain bekerja di Garuda juga nyambi berbagai usaha lain. Pernah sebagai agen MLM Tiansi. Terakhir dia juga nyambi sebagai agen asuransi. Dia nawari saya sebagai agen asuransi juga untuk nambah-nambah penghasilan. Teman saya ini niatnya menjadi pengusaha juga sangat kuat. Dia rela capai habis kerja harus keliling lagi cari klien asuransi. Dia kadang telpon ke HP saya berlama-lama memotivasi saya agar tidak puas jadi karyawan. Dia mengatakan jabatan setinggi apapun kalau statusnya karyawan hidupnya tetap diatur oleh orang lain karena kita hidup dari gaji yang diberikan orang lain. Dia selalu memotivasi saya agar belajar berbinis dan suatu saat harus bisa hidup dari usaha atau bisnis kita sendiri. Ya suatu saat kita harus jadi owner atau pemilik perusahaan sendiri dan itu harus dimulai dari usaha apa saja, kecil juga gak apa-apa. Dalam percakapan saya dengan teman saya ini, saya benar-benar kaget karena dia mengatakan : ”saya sudah resain dari Garuda”. Astaga... ”Kamu serius ?” tanya saya. Dia mengatakan ”Iya.. sekarang aku nekuni bisnis asuransi”. Sebuah keputusan ”gila”. Menurut saya ini keputusan yang gila. Bagaimana tidak, dia yang sudah mencapai posisi manajer di Garuda, sebuah perusahaan penerbangan terbesar di Indonesia, dia tinggalkan dan beralih ke bisnis asuransi. Di perusahaan asuransi, posisinya memang lebih otonom dia bisa rekrut tenaga marketing dan besarnya penghasilan tergantung pada usaha yang dia kerjakan. Beda dengan karyawan, kerja keras atau tidak, tidak begitu ngefek pada penghasilan. Ya itulah fakta. Suatu keputusan yang sarat dengan resiko baik jangka pendek maupun panjang. Tetapi dia telah ambil keputusan itu dan saya yakin dia sudah perhitungkan resikonya. Dan itulah tipe seorang wira usaha : BERANI AMBIL RESIKO.
Kembali ke hotel saya merenung, percakapan saya dengan 2 teman tadi bukanlah sebuah kebetulan tetapi Tuhan memberikan inspirasi kepada saya. Saya harus belajar menjadi seorang wira usaha. Jangan hanya jadi karyawan yang puas dengan upah atau gaji. Dengan jadi wira usaha, bukan hanya bisa mengatur diri sendiri tetapi kita bisa mengembangkan diri sesuai idealisme dan yang tidak kalah pentingnya bisa membuka lowongan kerja bagi orang lain. Saya teringat cita-cita saya waktu kuliah dulu : pengin punya bisnis sendiri tidak terlalu besar tetapi solid dan jadi contoh dalam banyak hal bagi perusahaan lain. Cita-cita ini nampaknya sudah saya lupakan karena sudah merasa nyaman jadi karyawan. Tuhan seolah-oleh mengingatkan cita-cita lama saya yang sudah terkubur dalam-dalam. Sebelum usia bertambah tua Tuhan mengingatkan karena semakin tua makin tidak berani mengambil resiko. Saya teringat, kedua teman saya selalu ”mengejek”, jabatan setinggi apapun kalau hanya sebagai karyawan itu bukan apa-apa. Kalau sudah menjadi wira usaha barulah kita berprestasi dan bisa berbangga. Saya rasa kata-kata teman saya ini ada benarnya.
Saya teringat, beberapa bulan yang lalu saya diminta memberikan ceramah dalam pertemuan perusahaan teman saya yang lain di Jogjakarta. Teman saya ini memiliki usaha dengan jumlah karyawan yang relatif banyak dan wilayah pemasaran dibeberapa kota di Indonesia bahkan dibeberapa kota, market share penjualan produknya yang terbesar. Awalnya saya senang bisa memberikan ceramah ditengah-tengah meeting perusahaan. Tetapi ketika memulai sesi ceramah, saya merasa tidak ada apa-apanya dengan teman saya ini. Saya jujur mengatakan kepada audiens :”saya ini bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, yang hebat adalah Bos anda. Sejak dulu saya ingin menjadi pengusaha tetapi belum bisa karena tidak berani mengambil resiko. Tetapi bos anda ini lebih muda dari saya tetapi sudah punya perusahaan yang cukup bisa dibanggakan. Oleh karena itu saya hanya akan bicara tentang konsep yang saya tahu bukan pengalaman bisnis saya.” Ya saya malu. Seringkali saya dipanggil memberikan ceramah atau konsultasi manajemen atau bisnis tetapi kok saya hanya jadi karyawan terus. Saya merenung apa yang salah ? Kesalahan pertama, saya merasa sudah nyaman jadi karyawan. Kesalahan kedua, saya tidak pernah berani mengambil resiko untuk berbisnis.
Beberapa teman dekat saya juga sering memotivasi saya agar mulai berbisnis sendiri. Mereka mengatakan, skill dan pengetahuan kan sudah lumayan, kenapa tidak mulai membangun bisnis sendiri ? Ya.. ini memang patut bahkan sangat layak untuk dipertimbangkan.
Terima kasih Tuhan, terima kasih teman-teman dan terima kasih pasar senggol...
Rabu, 10 September 2008
NENEKKU : Pembelajaran diferensiasi dan Cara Pikir Positif
Hidup didesa rasanya memang lebih tenang dan damai. Meskipun demikian bukan berarti sepanjang perjalanan hidup orang desa selalu tenang dan damai. Saya dilahirkan dan dibesarkan di Ture suatu dusun terpencil di Wonogiri. Salah satu yang lumrah di desa saya adalah banyak anak-anak bahkan orang tua yang sering diberi nama panggilan (nama paraban atau alias). Nama alias ini seringkali lebih dikenal daripada nama aslinya. Misalnya saja, adik saya dipanggil bendol karena kepalanya besar, teman saya namanya agus biasa dipanggil bagong. Nama Triyono biasa dipanggil bodong, nama sutino dipanggil pendek, nama Untung dipanggil kenthus. Dan banyak lagi nama alias seperti pesek, bedun, blondor, senthun, jolodong dan sebagainya. Nama-nama alias atau paraban atau nama panggilan tersebut biasanya dikaitkan dengan kekurangan/kelemahan seseorang sehingga berkesan negatif. Dari pengalaman seperti itulah maka saya memiliki kesan bahwa nama paraban atau alias memiliki makna negatif.
Nama alias tersebut dalam banyak kasus diberikan oleh orang tua atau keluarga sendiri. Nampaknya nama paraban atau alias itu juga menimpa diri saya. Nenek, yang sangat mengasihi saya, memberi nama panggilan saya “pekik”. Karena nenek saya memanggil pekik maka kakak adik saya juga ikut-ikutan memanggil saya pekik. Tidak ketinggalan sebagian dari teman-teman saya juga ikut-ikutan memanggil saya pekik. Apa sikap saya terhadap panggilan itu ? Saya benar-benar benci dan tidak suka bahkan muak dengan nama panggilan itu. Saudara dan teman-teman saya kalau mau membuat jengkel atau menggoda saya mereka menyebut saya dengan panggilan pekik. Mereka tahu dengan memanggil saya pekik pasti saya akan marah atau jengkel. Saya jengkel dan marah dengan panggilan pekik itu tetapi saya sesungguhnya tidak tahu persis apa makna yang terkandung dalam kata pekik itu. Setahu saya nama panggilan yang tidak sama atau mirip dengan nama asli adalah nama-nama yang maknanya negatif.
Lama kelamaan saya nggak betah juga dengan nama panggilan itu. Suatu saat saya protes tidak kepada nenek tetapi kepada ibu saya. Intinya saya menolak dan tidak suka dipanggil dengan sebutan pekik. Apa tanggapan ibu ? Beliau sama sekali tidak menunjukkan rasa kaget atau menyesal karena saya diberi sebutan pekik. Beliau hanya mengatakan dalam bahasa jawa :”lho diundang pekik kok ora gelem. Pekik iku artine bagus” (Lho dipangggil pekik kok nggak mau. Pekik itu artinya ganteng atau cakep). Saya agak kaget dengan jawaban ibu. Apa iya sih ? Kemudian ibu saya mengatakan bahwa dari sekian banyak cucu nenek ada 3 orang cucu lelaki yang dipanggil pekik dan salah satunya adalah saya. Kejengkelan saya waktu itu berubah menjadi rasa kaget, tidak percaya dan bangga. Bagaimana tidak bangga sebagai anak kecil diberi panggilan yang artinya ganteng/cakep ? Ya bangga, meskipun pada perkembangannya saya merasa tidak layak dengan nama panggilan itu karena nama panggilan itu jauh dari kenyataan yang sesungguhnya.
Apa yang ingin saya katakan dari cerita hidup saya tadi ? Saya bangga memiliki nenek, orang desa, sederhana dan tidak punya pendidikan tetapi dia memiliki deferentiation(sesuatu yang berbeda) dari orang lain yaitu cara berpikirnya yang positif. Semua orang memberikan nama alias berasal dari kekurangan/kelemahan (si pendek, si kenthus, si bagong, si bodong dll) tetapi nenek saya memberikan nama alias dari kelebihan/sesuatu yang positif meskipun kelebihan/nilai positif itu hanya kecil saja.
Ada 2 (dua) hal yang dapat kita jadikan bahan pembelajaran dari pengalaman hidup saya ini yang bisa kita pakai dalam kehidupan organisasi. Yang pertama adalah deferentiotion. Saat ini banyak perusahaan dan organisasi ingin hidup dan bisa berkembang tetapi kenyataannya sulit. Kenapa ? Karena tidak memiliki deferentiation , tidak memiliki sesuatu yang berbeda dari perusahaan atau organisasi yang lain. Seseorang mau membuka usaha nasi soto sulit untuk berkembang kalau tidak memiliki sesuatu yang berbeda dari warung soto lain yang sudah ada saat ini. Konsumen sulit pindah ke warung soto yang baru kalo tidak ada yang berbeda dari warung soto langganannya saat ini. Deferentiation ini bisa dalam bentuk harga, kualitas, kemasan, service atau keunikan yang lain. Deferentiation ini idealnya diambil dari kekuatan atau kelebihan yang ada dalam diri atau organisasi kita.
Hal yang kedua ada cara berfikirnya yang positif.. Semua orang boleh berpikir negatif tetapi beliau mengajarkan kepada saya berpikiran positif. Berpikir positif dengan melihat kekuatan/kelebihan orang lain agar mereka bisa berkembang. Secara jujur saya mengatakan, jika ada orang yang mengungkapkan sesuatu yang positif atau kelebihan dalam diri saya, bukan hanya membuat saya bangga tetapi juga menambah rasa percaya diri untuk melangkah dan menatap masa depan. Untuk itu mari kita bantu teman-teman sekerja kita, anak-anak, cucu, saudara, istri, suami, teman bahkan orang lain untuk menemukan sesuatu yang positif agar mereka memiliki rasa percaya diri yang memadai dan bisa mengembangkan dirinya dengan lebih baik.
Meskipun demikian ada kelemahan yang dilakukan oleh nenek saya. Beliau memberikan sesuatu yang positif, yang bisa menimbulkan rasa bangga dan rasa percaya diri tetapi tidak pernah menjelaskannya maknanya kepada saya. Akibatnya apa ? Saya justru menanggapinya dengan negatif, jengkel bahkan marah. Jadi beginilah hidup, memberikan atau melakukan sesuatu yang positif kepada seseorang bisa dipahami secara negatif jika tidak dikomunikasikan dan dijelaskan dengan baik. Prinsip ini juga bisa diterapkan dalam mengelola sebuah organisasi. Tidak semua maksud baik bisa berdampak positif memacu motivasi tetapi sebaliknya bisa menjadi kontra produktif jika tidak dikomunikasikan dengan baik.
Mohon maaf nenek aku telah salah sangka. Dan terima kasih atas pembelajaran yang sudah diberikan. Engkau sudah tidak ada di dunia ini tetapi semangat dan keteladananmu tetap hidup sampai sekarang. Aku yang mengasihi nenek.
Pelajaran Hidup dari BAPAK & IBUKU
Perjalanan hidup setiap seorang itu berbeda-beda. Ada orang yang sakit-sakitan tetapi bertahan hidup sampai tua, tetapi ada yang kelihatan sehat tiba-tiba sakit dan dipanggil Tuhan. Ya.. manusia hanyalah titah Yang Maha Kuasa, kalau sewaktu-waktu dipanggil tidak ada yang bisa ”semoyo” minta penundaan waktu.
Bapak dan Ibuku saat ini sudah berusia lebih dari 70 tahun. Dalam usianya yang semakin menua, wajar kalau beliau berdua mengalami gangguan penyakit degeneratif karena mulai menurunnya fungsi organ-organ tubuh. Meski ada gangguan kesehatan tetapi beliau masih sehat bisa beraktivitas di rumah, gereja bahkan di tengah masyarakat.
Di usianya yang makin tua, saya sebagai anak makin hari makin bisa memahami prinsip hidupnya yang mulia, yang tidak tergoyahkan oleh nilai-nilai hidup manusia jaman kini yang diwarnai individualisme dan materialisme.
Beberapa bulan yang lalu saudara saya (anak dari sepupu ibu saya) yang bekerja di jakarta menderita sakit, dia terjatuh dan patah tulang. Menurut diagnosa terakhir dokter, dia mengalami stroke dan kanker tulang. Kabar terakhir yang saya dengar tulang kakinya sudah keropos 5 cm sehingga tulangnya patah. Rumah sakit sudah angkat tangan, sehingga Saudara saya ini hanya dirawat dirumah sambil ”mbudidaya” dengan pengobatan tradisional. Saudara saya ini, sebenarnya sudah berkerluarga tetapi suaminya pergi entah kemana. Anaknya yang sudah dewasa sudah diangkat bapak ibuku menjadi anak sejak kecil (menjadi adik angkat saya). Di desaku dia masih mempunyai beberapa Saudara yang sudah berkeluarga. Namun saya tidak tahu persis bagaimana ceritanya, saudara saya yang sakit ini dibawa pulang ke desa dan tinggal bahkan dirawat oleh bapak dan ibuku.
Suatu saat, salah seorang kakak saya telpon, dia menyatakan keberatannya jika Bapak dan Ibu harus merawat saudara saya yang sedang sakit tersebut. Kakak saya merasa tidak tega melihat bapak apalagi ibu harus direpotkan untuk merawat saudara yang sakit, yang sama sekali sudah tidak bisa bangun dan berjalan. Kakak saya tidak tega dan tidak bisa menerima karena ibu kadang harus membantu buang air besar maupun kecil dan membuangnya ke WC. Pertimbangan lain kakak saya adalah saudara saya tersebut bisa dirawat oleh adik-adiknya atau anaknya (adik angkat saya) yang saat ini sudah dewasa dan sudah bekerja. Kakak saya meminta tolong saya untuk bicara sama ibu, agar saudara saya tersebut dirawat saja oleh saudaranya atau anaknya.
Beberapa hari kemudian saya, telpon kepada ibu saya di desa. Sebelum saya bertanya kepada ibu tentang masalah saudara saya ini ternyata ibu bercerita lebih dulu tentang sikap dan keputusannya untuk merawat saudara saya tersebut. Inti ceritanya adalah bapak dan ibu sudah berketetapan setulus hati untuk merawat saudara saya tersebut karena kondisi adik-adiknya tidak memungkinkan untuk merawat dengan baik karena sibuk bekerja dan tidak memungkinkan menggaji pembantu yang bisa merawat secara khusus. Ibu saya juga mengatakan jika saudara saya itu dirawat oleh orang lain, hati dan pikiran beliau akan terganggu/terbebani (jawa : dadi pikiran) karena ada rasa kawatir perawatannya tidak optimal karena sering ditinggal bekerja. Satu hal yang sangat membuat saya bangga adalah perkataan beliau yang mengungkapkan bahwa meskipun kondisi ibu yang secara fisik menurun dan lemah tetapi dengan berbuat baik mencurahkan perhatian kepada Saudara saya yang sedang sakit tersebut beliau yakin bahwa Tuhan akan memberikan kekuatan dan kesehatan. Dan hal itu terbukti beliau bertambah repot tetapi penyakit diabetes maupun darah tingginya tetap terkendali. Ini adalah prinsip hidup bapak dan ibu saya yang sangat saya kagumi. Bagi beliau berdua menolong orang yang sedang sakit atau susah atau menderita adalah lebih utama daripada memperhatikan diri sendiri. Beliau rela berkorban, repot, cape dan lain-lainnya demi kebaikan orang lain. Beliau berprinsip meski mengalami kelemahan fisik dan keterbatasan sumberdaya tapi selama masih mampu berbuat baik, beliau akan berbuat baik. Bagi beliau berbuat baik bagi orang lain akan membuat hidup ini lebih berarti dan akan mendatangkan berkat.
Saya benar-benar bangga punya ayah dan ibu yang memiliki prinsip hidup yang dikuasai oleh hati nurani yang tulus, hati yang dikuasai oleh roh. Prinsip hidup ini dimata beberapa orang saudara dan tetangga saya justru dianggap aneh. Kok mau-maunya sudah tua masih mau repot ngurusin orang sakit. Bagi kebanyakan orang, usia tua adalah saatnya memperhatikan diri sendiri, santai dan kalau perlu selalu dilayani bukan malah direpotkan. Sebagian saudara saya juga berpikir begitu. Bapak dan ibu sudah tua jadi jangan ngrepotin beliau dan tidak rela jika beliau direpotin orang lain. Ini sebenarnya juga sikap yang baik dari saudara saya karena sebagai anak ingin menyenangkan orang tuanya. Tetapi sikap ini dilandasi pada sikap yang individualistik. Berbeda dengan bapak dan ibu, sikap individualistik justru tidak tepat. Apapun kondisi beliau, selama masih mampu berbuat baik, akan selalu berbuat baik karena hidup akan menjadi lebih berarti dan mendatangkan berkat.
Prinsip hidup ini menurut saya sangat tinggi tingkatannya. Prinsip hidup jaman ini yang diwarnai individualisme sebenarnya prinsip hidup yang amat rendah karena hanya berorientasi pada diri sendiri tidak membawa arti bagi orang lain. Prinsip hidup yang paling tinggi menurut saya adalah jika kita rela berkorban demi kebaikan orang lain. Itulah yang diajarkan Tuhan, dan itulah yang diteladani ayah dan ibuku. Aku kagum, aku ingin mencontoh meski aku sadar saat ini masih jauh dari tingkatan hidup yang seperti itu. Aku harus terus belajar dan harus bisa. Bukankah aku sudah punya contoh yang konkrit dari orang tuaku... Terima kasih bapak dan ibu. Aku kagum dan bangga kepadamu.
Lagu yang menjadi favorit anak saya ini sering sekali saya, istri dan anak-anak nyanyikan :
Sentuh Hatiku
Betapa kumencitai, segala yang tlah terjadi
Tak pernah sendiri, jalani hidup ini selalu menyertai,
Betapa kumenyadari, di dalam hidupku ini
Kau slalu memberi, rancangan terbaik oleh karena kasih
Reff :
Bapa sentuh hatiku, ubah hidupku menjadi yang baharu,
Bagai emas yang murni, Kau membentuk bejana hatiku.
Bapa ajarku mengerti sebuah kasih yang selalu memberi
Bagai air mengalir yang tiada pernah berhenti..
Sebuah lagu yang amat indah dan dalam maknanya. Suatu kesadaran bahwa kita tidak pernah sendiri karena Tuhan selalu menyertai, memberi bahkan memiliki rancangan terbaik dalam hidup kita. Oleh karena itu dalam lagu tersebut ada doa yang meminta Tuhan menyentuh hati kita dan mengubah hidup kita menjadi baru, dan meminta Tuhan mengajar kita agar bisa mengerti kasih yang selalu memberi seperti air yang selalu mengalir dan tidak pernah berhenti.
Bagi saya itu baru sebatas lagu, tapi bapak dan ibuku sudah mempraktekannya dalam hidup meskipun beliau berdua tidak pernah mengenal lagu ini... Terima kasih bapak dan ibu. Doa kami Tuhan akan selalu memberikan umur yang panjang, selalu sehat dan banyak berkat bisa membimbing para putra dan cucu bahkan cicit-cicitnya nanti.
(Tulisan ini saya persembahkan kepada bapak dan ibu yang di bulan Oktober 2008 akan memasuki pernikahan emas.)
Langganan:
Postingan (Atom)