Rabu, 10 September 2008
NENEKKU : Pembelajaran diferensiasi dan Cara Pikir Positif
Hidup didesa rasanya memang lebih tenang dan damai. Meskipun demikian bukan berarti sepanjang perjalanan hidup orang desa selalu tenang dan damai. Saya dilahirkan dan dibesarkan di Ture suatu dusun terpencil di Wonogiri. Salah satu yang lumrah di desa saya adalah banyak anak-anak bahkan orang tua yang sering diberi nama panggilan (nama paraban atau alias). Nama alias ini seringkali lebih dikenal daripada nama aslinya. Misalnya saja, adik saya dipanggil bendol karena kepalanya besar, teman saya namanya agus biasa dipanggil bagong. Nama Triyono biasa dipanggil bodong, nama sutino dipanggil pendek, nama Untung dipanggil kenthus. Dan banyak lagi nama alias seperti pesek, bedun, blondor, senthun, jolodong dan sebagainya. Nama-nama alias atau paraban atau nama panggilan tersebut biasanya dikaitkan dengan kekurangan/kelemahan seseorang sehingga berkesan negatif. Dari pengalaman seperti itulah maka saya memiliki kesan bahwa nama paraban atau alias memiliki makna negatif.
Nama alias tersebut dalam banyak kasus diberikan oleh orang tua atau keluarga sendiri. Nampaknya nama paraban atau alias itu juga menimpa diri saya. Nenek, yang sangat mengasihi saya, memberi nama panggilan saya “pekik”. Karena nenek saya memanggil pekik maka kakak adik saya juga ikut-ikutan memanggil saya pekik. Tidak ketinggalan sebagian dari teman-teman saya juga ikut-ikutan memanggil saya pekik. Apa sikap saya terhadap panggilan itu ? Saya benar-benar benci dan tidak suka bahkan muak dengan nama panggilan itu. Saudara dan teman-teman saya kalau mau membuat jengkel atau menggoda saya mereka menyebut saya dengan panggilan pekik. Mereka tahu dengan memanggil saya pekik pasti saya akan marah atau jengkel. Saya jengkel dan marah dengan panggilan pekik itu tetapi saya sesungguhnya tidak tahu persis apa makna yang terkandung dalam kata pekik itu. Setahu saya nama panggilan yang tidak sama atau mirip dengan nama asli adalah nama-nama yang maknanya negatif.
Lama kelamaan saya nggak betah juga dengan nama panggilan itu. Suatu saat saya protes tidak kepada nenek tetapi kepada ibu saya. Intinya saya menolak dan tidak suka dipanggil dengan sebutan pekik. Apa tanggapan ibu ? Beliau sama sekali tidak menunjukkan rasa kaget atau menyesal karena saya diberi sebutan pekik. Beliau hanya mengatakan dalam bahasa jawa :”lho diundang pekik kok ora gelem. Pekik iku artine bagus” (Lho dipangggil pekik kok nggak mau. Pekik itu artinya ganteng atau cakep). Saya agak kaget dengan jawaban ibu. Apa iya sih ? Kemudian ibu saya mengatakan bahwa dari sekian banyak cucu nenek ada 3 orang cucu lelaki yang dipanggil pekik dan salah satunya adalah saya. Kejengkelan saya waktu itu berubah menjadi rasa kaget, tidak percaya dan bangga. Bagaimana tidak bangga sebagai anak kecil diberi panggilan yang artinya ganteng/cakep ? Ya bangga, meskipun pada perkembangannya saya merasa tidak layak dengan nama panggilan itu karena nama panggilan itu jauh dari kenyataan yang sesungguhnya.
Apa yang ingin saya katakan dari cerita hidup saya tadi ? Saya bangga memiliki nenek, orang desa, sederhana dan tidak punya pendidikan tetapi dia memiliki deferentiation(sesuatu yang berbeda) dari orang lain yaitu cara berpikirnya yang positif. Semua orang memberikan nama alias berasal dari kekurangan/kelemahan (si pendek, si kenthus, si bagong, si bodong dll) tetapi nenek saya memberikan nama alias dari kelebihan/sesuatu yang positif meskipun kelebihan/nilai positif itu hanya kecil saja.
Ada 2 (dua) hal yang dapat kita jadikan bahan pembelajaran dari pengalaman hidup saya ini yang bisa kita pakai dalam kehidupan organisasi. Yang pertama adalah deferentiotion. Saat ini banyak perusahaan dan organisasi ingin hidup dan bisa berkembang tetapi kenyataannya sulit. Kenapa ? Karena tidak memiliki deferentiation , tidak memiliki sesuatu yang berbeda dari perusahaan atau organisasi yang lain. Seseorang mau membuka usaha nasi soto sulit untuk berkembang kalau tidak memiliki sesuatu yang berbeda dari warung soto lain yang sudah ada saat ini. Konsumen sulit pindah ke warung soto yang baru kalo tidak ada yang berbeda dari warung soto langganannya saat ini. Deferentiation ini bisa dalam bentuk harga, kualitas, kemasan, service atau keunikan yang lain. Deferentiation ini idealnya diambil dari kekuatan atau kelebihan yang ada dalam diri atau organisasi kita.
Hal yang kedua ada cara berfikirnya yang positif.. Semua orang boleh berpikir negatif tetapi beliau mengajarkan kepada saya berpikiran positif. Berpikir positif dengan melihat kekuatan/kelebihan orang lain agar mereka bisa berkembang. Secara jujur saya mengatakan, jika ada orang yang mengungkapkan sesuatu yang positif atau kelebihan dalam diri saya, bukan hanya membuat saya bangga tetapi juga menambah rasa percaya diri untuk melangkah dan menatap masa depan. Untuk itu mari kita bantu teman-teman sekerja kita, anak-anak, cucu, saudara, istri, suami, teman bahkan orang lain untuk menemukan sesuatu yang positif agar mereka memiliki rasa percaya diri yang memadai dan bisa mengembangkan dirinya dengan lebih baik.
Meskipun demikian ada kelemahan yang dilakukan oleh nenek saya. Beliau memberikan sesuatu yang positif, yang bisa menimbulkan rasa bangga dan rasa percaya diri tetapi tidak pernah menjelaskannya maknanya kepada saya. Akibatnya apa ? Saya justru menanggapinya dengan negatif, jengkel bahkan marah. Jadi beginilah hidup, memberikan atau melakukan sesuatu yang positif kepada seseorang bisa dipahami secara negatif jika tidak dikomunikasikan dan dijelaskan dengan baik. Prinsip ini juga bisa diterapkan dalam mengelola sebuah organisasi. Tidak semua maksud baik bisa berdampak positif memacu motivasi tetapi sebaliknya bisa menjadi kontra produktif jika tidak dikomunikasikan dengan baik.
Mohon maaf nenek aku telah salah sangka. Dan terima kasih atas pembelajaran yang sudah diberikan. Engkau sudah tidak ada di dunia ini tetapi semangat dan keteladananmu tetap hidup sampai sekarang. Aku yang mengasihi nenek.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar