Kamis, 01 Oktober 2009

Bersyukur atas klaim Malaysia terhadap BUDAYA ASLI INDONESIA


Oleh : E. Hindro Cahyono


Dulu saat bepergian, saya suka membeli tanaman. Meski rumah saya kecil dan tidak punya lahan untuk menanam pohon namun saya tetap membelinya untuk ditanam di pot. Salah satu pohon yang pernah saya beli adalah pohon sawo kecik. Pohon ini sengaja saya beli karena mengingatkan saya dimasa kecil ketika hidup di desa. Pohon itu saya tanam di pot yang relatif besar.
Kebiasaan saya yang suka menanam pohon ternyata tidak diimbangi dengan kesukaan saya untuk memelihara tanaman. Menyirami, memupuk atau memelihara secara rutin sangat jarang saya lakukan. Istri saya yang rajin menyiram tanaman tetapi kebiasaaan merawat dan memupuk sering lupa saya lakukan. Akibatnya beberapa tanaman tidak bertumbuh bahkan mulai mengering. Salah satu yang tidak bisa bertumbuh adalah pohon sawo kecik.

Suatu saat setelah saya pergi beberapa hari, tanaman sawo kecik saya tersebut sudah lenyap dari rumah. Saya bertanya pada istri, dia menjawab kalau pohon sawo kecik tersebut sudah diberikan kepada seorang teman saya. ”Lho kenapa kok dikasihkan ?” tanya saya. Dia jawab :”Dari pada disini tidak bisa berkembang atau bahkan mati, kan lebih baik dirawat orang lain yang memiliki lahan yang cukup dan bisa merawat tanaman” begitu istri saya menjawab. Meski saya agak jengkel karena dia memberikan pohon saya kepada orang lain, tetapi saya diam saja karena perkataan istri saya ada benarnya.

Apa hubungannya cerita di atas dengan judul tulisan ini ? Cerita tersebut hanyalah sebuah analogi tentang budaya asli bangsa kita yang sekarang sedang ramai dibicarakan karena ada beberapa yang diklaim oleh negara tetangga. Ditengah demonstrasi dan hujatan masyarakat Indonesia kepada negara tetangga, saya justru merenung atas peristiwa tersebut. Kadang saya berfikir :”Bukankah lebih baik budaya kita diperlihara, dilestarikan dan dikembangkan bangsa lain daripada di negeri sendiri tidak ada yang memelihara, melestarikan dan mengembangkannya ?”. Bukankah negera lain lebih bisa menghargai budaya Indonesia bahkan mempromosikannnya kepada bangsa-bangsa lain ? Sementara kita sendiri tidak menghargai bahkan menelantarkannya begitu saja. Saya berpendapat di era global sekarang ini, jika berbicara masalah budaya yang paling penting bukan masalah asal usul budaya itu tetapi siapa (masyarakat atau bangsa) yang bisa memelihara dan mengembangkannya bagi kemajuan dan kebesaran masyarakat atau bangsa itu. Sekarang ini burger, fried chicken, pizza yang berasal dari luar negeri juga berkembang di negara kita tetepi kan negara asalnya tidak ada yang protes malah mereka secara sadar mengembangkan ke negara-negara luar. Mereka bangga dan mendapat banyak manfaat dari hal ini. Demikian juga dengan lagu-lagu jazz, rock, country, dansa, disco dan sejenisnya berkembang di negara-negara lain tetapi negara asal budaya itu tidak merasa rugi atau merasa budayanya di klaim negara lain. Saya kawatir jangan-jangan kita sering protes ke Malaysia ketika ada budaya atau makanan Indonesia masuk dalam daftar budaya atau makanan yang dipromosikan sebagai daya tarik wisata Malaysia karena kita sendiri sedang ketakutan karena hal itu lebih bisa berkembang di negara lain, sementara di negara kita sendiri sedang dalam proses dilupakan. Menurut saya budaya apapaun (kesenian, pakaian, makanan dll) akan bisa bertahan dan berkembang tidak ditentukan dari mana dia berasal tetapi tergantung dari negera mana yang bisa memberi ruang untuk bertahan dan berkembang. Ini berarti kalau Indonesia ingin budaya asli kita bisa berkembang di negara kita sendiri, maka perlu upaya serius dan sistematis untuk mengembangkannya di Indonesia.

Selama seminggu ini saya liburan di desa asal saya di Wonogiri. Biasa sehabis lebaran banyak orang yang memiliki kerja menikahkan anak. Ada yang sangat berbeda kebiasaan orang jaman ini dengan jaman saya waktu kecil. Kebiasaan di waktu kecil kalau ada orang yang menikahkan anaknya, mereka sering “menanggap” wayang kulit semalam suntuk. Anak-anak pada memahami wayang sebagai budaya kita. Mereka mengenal tokoh-tokoh seperti pandawa, kurawa dan punokawan. Mereka bisa belajar bagaimana menjadi manusia yang memiliki pribadi seperti pandawa dan menghindari pribadi seperti kurawa. Tetapi apa yang terjadi sekarang ? Wayang sudah tidak ada lagi tetapi digantikan dengan orkes dangdut atau campursari. Mereka hanya bersenang-senang tetapi tidak ada pelajaran yang dipetik tetapi justru sebaliknya anak-anak kecil sudah belajar perilaku dan kata-kata jorok. Bagaimana tidak ? Mereka mengenal akrab lagu cucak rowo, sms, bojo loro dll. Norak bahkan merusak...!!!

Waktu saya masih SD setiap tahun di tingkat kecamatan selalu ada lomba, baik olah raga maupun tari-tarian tradisional. Sedangkan di kelurahan selalu ada pentas seni : ada tarian, ketoprak, bahkan wayang kulit tetapi sekarang semua itu sudah tidak ada dan digantikan dengan campursari atau dangdut.

Jika anak-anak jaman sekarang sudah tidak mengenal budayanya sendiri, maka ketika dewasa 10 atau 20 tahun kedepan orang Indonesia sudah tidak mengenal lagi budayanya. Nah kalau seperti ini apakah akan dibiarkan budaya asli indonesia akan kita biarkan sirna ditelan jaman ? Bukankan lebih baik jika budaya asli indonesia dipelajari dan dikembangkan diluar negeri ?

Saya tidak bermaksud mengajak kita kembali ke masa lalu tetapi saya hanya mengingatkan bahwa kalau kita ingin budaya kita tetap terpelihara bahkan bisa berkembang maka perlu adanya ruang dan media untuk memelihara, mengembangkan bahkan melakukan transfer kepada generasi berikutnya. Tanpa hal itu budaya kita akan sirna oleh jaman.

Terus terang, hati kecil saya merasa bersukur ketika Malaysia memasukkan beberapa budaya asli Indonesia dalam iklan promosi pariwisata negara itu. Sukur saya bukan karena budaya kita yang diakui oleh mereka tetapi lebih karena peristiwa itu menyadarkan kita tentang beberapa hal :
1) peristiwa itu mengingatkan kita bahwa budaya kita yang saat ini pelan-pelan sudah mulai kita lupakan ternyata bagi negara lain menjadi sesuatu yang memiliki “nilai lebih” dan memiliki daya tarik wisata,
2) peristiwa itu memacu kita untuk memeiliki perhatian yang lebih terhadap pengembangan budaya bangsa sekaligus menyadarkan kita bahwa dibutuhkan upaya sistematis untuk memelihara dan mengembangkan budaya asli kita baik melalui pendidikan formal maupun melalui aktivitas dalam masyarakat,
3) di masa global ini jika budaya kita tidak kita pelihara sendiri maka tidak bisa dihalangi jika budaya kita akan dikembangkan di negara lain.

Persoalannya adalah apa yang akan kita lakukan berikutnya ? Upaya menginvetarisi budaya asli Indonesia dan mendaftarkan di UNESCO memang cukup baik tetapi tidaklah cukup. Yang lebih penting adalah bagaimana kita membuktikan kepada semua bangsa bahwa kita lebih mampu mengembangkan dan memanfaatkan budaya kita bagi peningkatan harga diri bangsa dan kesejahteraan rakyat. Perlu upaya untuk melestarikan secara sistematis dan memberikan ruang untuk bertumbuh dan berkembang. Jika hal tersebut tidak bisa kita laksanakan kita tidak perlu protes jika bangsa lain yang mengembangkannya. Malah kita perlu bersyukur karena mereka telah melestarikan budaya kita... Sama seperti pohon sawo kecik milik saya, lebih baik dipelihara orang lain karena bisa tumbuh subur dan berkembang daripada mati dirumah saya karena tidak dipelihara dengan baik. Itu hanya pendapat saya, anda boleh tidak setuju.. tapi jangan menuduh saya “pro Malaysia” dan anda tidak boleh demo kepada saya...! He..he..he..

Tidak ada komentar: