Kamis, 01 Oktober 2009
SETELAH MEREKRUT DAN MENEMPATKAN SDM, APA YANG HARUS KITA LAKUKAN ?
Oleh : E. Hindro Cahyono
Salah seorang Saudara, sebut saja namanya Bejo, baru saja curhat tentang masa lalunya ketika dia baru saja masuk bekerja dalam suatu institusi. Dia menceritakan pengalamannya ketika dimarahi habis-habisan oleh ”bos besar”. Masalahnya sepele, setelah dia diterima bekerja, dia diserahkan oleh ”bos besar” kepada seorang Kepala Bagian untuk dipekerjakan. Namun saat Bejo bertanya tentang tugas yang harus dikerjakan, Kepala Bagiannya menjawab ”Udahlah santai aja, duduk duduk, baca koran dan jalan-jalan saja..”. Aneh.. tetapi karena ”lugu” Bejo ini taat sama sang Kepala Bagian, tugasnya di kantor hanyalah duduk-duduk, baca koran dan jalan-jalan di lingkungan kantor.
Apa yang terjadi selanjutnya ? Bejo menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Dia dikatakan : ”malas.., makan gaji buta.. ”. Masalah ini akhirnya sampai juga ke telinga ”bos besar” . Akhirnya dia dipanggil dan dimarahi habis-habisan tanpa diberi waktu untuk memberikan penjelasan. Di lain waktu setelah ”bos besar” reda amarahnya, Bejo dipanggil lagi dan diberi waktu untuk menjelaskan. Dia mengatakan bahwa, telah meminta tugas yang harus dikerjakan tetapi Kepala Bagiannya tidak memberikan penugasan apapun. Akhirnya ”bos besar” tahu dan paham bahwa masalahnya bukan pada Bejo tetapi ada pada pihak manajemen karena memberikan penugasan sehingga Bejo tidak tahu apa yang harus dikerjakan.
Ilustrasi nyata ini menarik. Seringkali seorang karyawan divonis kinerjanya buruk, malas atau tidak kompeten padahal sumber masalahannya bukan pada karyawan tetapi ada pada pihak manajemen. Kenapa bisa begitu ? Ada hal yang kadang dilupakan oleh pihak manajemen. Sebelum merekruit karyawan mestinya sudah dilakukan analisis kebutuhan tenaga. Jika dari hasil analisa menunjukkan perlu tambahan tenaga maka baru dilakukan proses rekruitmen. Persoalannya adalah apakah setelah rekruitmen dan menempatkan karyawan dalam suatu bagian tertentu tugas manajemen selesai ? Jawabnya BELUM !!! Ada hal yang sangat penting setelah proses rekruitmen selesai yaitu menjelaskan kepada karyawan tentang aturan main organisasi dan apa yang diharapkan oleh organisasi/manajemen dari pekerjaan karyawan tersebut selama dia bekerja di organisasi.
Secara lebih detail hal-hal penting yang perlu dijelaskan oleh manajemen kepada karyawan (baru) adalah :
1. Karyawan perlu memahami struktur organisasi, prosedur, peraturan dan budaya organisasi. Struktur organisasi perlu dijelaskan agar karyawan baru memahami posisinya dimana, harus diperintah dan bertanggungjawab kepada siapa, harus berkoordinasi dengan siapa saja dll. Prosedur diperlukan agar karyawan dalam bekerja bisa menyesuaikan diri dengan aturan main organisasi sehingga tidak akan menimbulkan konflik dengan bagian dan pihak lain. Sedangkan peraturan penting bagi karyawan agar bisa memahami apa saja yang menjadi hak, kewajiban, larangan, tata tertib dll. Jika tidak ada penjelasan terhadap hal-hal di atas, karyawan baru akan bekerja menurut persepsinya sendiri atau bekerja dalam keraguan karena tidak tahu cara kerjanya benar atau salah. Bisa jadi dia merasa bingung ketika dia merasa sudah bekerja dengan baik tetapi kinerjanya dinilai buruk oleh atasannya atau teman sekerjanya. Hal lain yang perlu dijelaskan kepada karyawan adalah budaya kerja organisasi (corporate culture). Budaya kerja ini adalah nilai-nilai dan kebiasaan dalam organisasi yang tidak terlulis tetapi sudah menjadi budaya/kebiasaan dalam bersikap dan berperilaku. Misalnya, harus mengucapkan selamat pagi/siang ketika bertemu dengan atasan atau teman sekerja atau klien, mematikan HP saat rapat, berdoa sebelum dan sesudah bekerja dll. Budaya positif yang akan dikembangkan dalam organisasi seharusnya dijelaskan kepada karyawan baru agar dia bisa menyelarasnya perilakunya dengan nilai-nilai dan budaya organisasi.
2. Karyawan membutuhkan kejelasan dan ketetapan uraian tugas, batasan wewenang dan tanggungjawabnya. Uraian tugas sangat penting bagi karyawan agar dia paham betul tentang tugas yang harus dikerjakan. Batasan wewewang diperlukan agar karyawan memahami hal-hal apa saja yang menjadi wewenangnya (misalnya dalam pengambilan keputuskan, penggunaan fasilitas, meminta fasilitas, mengusulkan atau merubah cara kerja dll). Tanggungjawab berkaitan dengan sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan oleh seorang karyawan, baik menyangkut pelaksanaan tugas maupun kualitas hasil kerja. Tanggung jawab ini akan menjadi ukuran baik buruknya keinerja seorang karyawan. Misalnya, seorang kasir menerima uang palsu, ini tanggungjawab siapa ? Jika kasir tidak disediakan alat deteksi uang palsu apakah tepat membebankan tanggungjawab kepada kasir ? Apakah itu bukan tanggungjawab manajemen yang tidak menyediakan fasilitas yang memadai ? Kesalahan input data oleh petugas yang menyebabkan harga yang harus dibayar konsumen lebih kecil (petusahaan rugi). Ini menjadi tanggungjawab siapa ? Petugas yang input data atau kasir ? Batasan tanggungjawab ini harus ditetapkan dengan jelas dan proporsional sesuai uraian tugas dan wewenangnya. Harus dihindari pembebanan tanggungjawab kepada karyawan yang tidak sesuai dengan tugas dan wewenangnya.
3. Manajemen perlu menetapkan dan menjelaskan key performance indicator (KPI) atau indikator kinerja yang akan digunakan untuk mengukur baik buruknya kinerja karyawan. Misalnya : Seorang Bendahara, KPI nya adalah :
a. Kesalahan pembayaran : 0
b. Kesalahan penulisan cek/giro : 0
c. Keterlambatan pembayaran melebihi jatuh tempo : 0
d. Kesalahan entry data : 0
e. Penyelesaian laporan arus kas paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
f. Angka terlambat masuk dinas maksimal 2 kali sebulan tdk lebih 30 menit.
Hal-hal tersebut diatas sangat dibutuhkan baik oleh manajemen maupun oleh karyawan agar harapan manajemen dapat dipahami oleh karyawan. Disisi lain karyawan dapat berusaha menyelarasakan perilakunya untuk memenuhi harapan manajemen. Persoalannya adalah seringkali manajemen tidak menetapkan secara formal uraian tugas, wewenang, tanggungjawab dan KPI karyawan. Jika hal itu tidak ditetapkan bagaimana bisa menjelaskan secara gamblang kepada karyawan ??? Akibatnya manajemen dan karyawan sama-sama tidak puas karena tidak jelas apa yang harus dikerjakan dan apa indikator yang digunakan untuk menilai kinerja karyawan. Maka tidak heran dalam penilaian kinerja karyawan seringkali tidak obyektif dan rawan konflik karena indikatornya tidak jelas.
Untuk itu bagi manajemen, mulailah menetapkan uraian tugas, wewenang, tanggung jawab, KPI, prosedur, budaya kerja. Setelah ditetapkan jangan lupa komunikasikan kepada semua karyawan agar mereka paham dan menyelarasakan perilakuk kerjanya dengan standar yang telah ditetapkan.
Bagi para karyawan, tanyakan kepada manajemen tentang hal-hal diatas. Jika belum ada mintalah waktu untuk mendiskusikan dan membuat kesepakatan.
Selamat berkerja dan berprestasi..
Bersyukur atas klaim Malaysia terhadap BUDAYA ASLI INDONESIA
Oleh : E. Hindro Cahyono
Dulu saat bepergian, saya suka membeli tanaman. Meski rumah saya kecil dan tidak punya lahan untuk menanam pohon namun saya tetap membelinya untuk ditanam di pot. Salah satu pohon yang pernah saya beli adalah pohon sawo kecik. Pohon ini sengaja saya beli karena mengingatkan saya dimasa kecil ketika hidup di desa. Pohon itu saya tanam di pot yang relatif besar.
Kebiasaan saya yang suka menanam pohon ternyata tidak diimbangi dengan kesukaan saya untuk memelihara tanaman. Menyirami, memupuk atau memelihara secara rutin sangat jarang saya lakukan. Istri saya yang rajin menyiram tanaman tetapi kebiasaaan merawat dan memupuk sering lupa saya lakukan. Akibatnya beberapa tanaman tidak bertumbuh bahkan mulai mengering. Salah satu yang tidak bisa bertumbuh adalah pohon sawo kecik.
Suatu saat setelah saya pergi beberapa hari, tanaman sawo kecik saya tersebut sudah lenyap dari rumah. Saya bertanya pada istri, dia menjawab kalau pohon sawo kecik tersebut sudah diberikan kepada seorang teman saya. ”Lho kenapa kok dikasihkan ?” tanya saya. Dia jawab :”Dari pada disini tidak bisa berkembang atau bahkan mati, kan lebih baik dirawat orang lain yang memiliki lahan yang cukup dan bisa merawat tanaman” begitu istri saya menjawab. Meski saya agak jengkel karena dia memberikan pohon saya kepada orang lain, tetapi saya diam saja karena perkataan istri saya ada benarnya.
Apa hubungannya cerita di atas dengan judul tulisan ini ? Cerita tersebut hanyalah sebuah analogi tentang budaya asli bangsa kita yang sekarang sedang ramai dibicarakan karena ada beberapa yang diklaim oleh negara tetangga. Ditengah demonstrasi dan hujatan masyarakat Indonesia kepada negara tetangga, saya justru merenung atas peristiwa tersebut. Kadang saya berfikir :”Bukankah lebih baik budaya kita diperlihara, dilestarikan dan dikembangkan bangsa lain daripada di negeri sendiri tidak ada yang memelihara, melestarikan dan mengembangkannya ?”. Bukankah negera lain lebih bisa menghargai budaya Indonesia bahkan mempromosikannnya kepada bangsa-bangsa lain ? Sementara kita sendiri tidak menghargai bahkan menelantarkannya begitu saja. Saya berpendapat di era global sekarang ini, jika berbicara masalah budaya yang paling penting bukan masalah asal usul budaya itu tetapi siapa (masyarakat atau bangsa) yang bisa memelihara dan mengembangkannya bagi kemajuan dan kebesaran masyarakat atau bangsa itu. Sekarang ini burger, fried chicken, pizza yang berasal dari luar negeri juga berkembang di negara kita tetepi kan negara asalnya tidak ada yang protes malah mereka secara sadar mengembangkan ke negara-negara luar. Mereka bangga dan mendapat banyak manfaat dari hal ini. Demikian juga dengan lagu-lagu jazz, rock, country, dansa, disco dan sejenisnya berkembang di negara-negara lain tetapi negara asal budaya itu tidak merasa rugi atau merasa budayanya di klaim negara lain. Saya kawatir jangan-jangan kita sering protes ke Malaysia ketika ada budaya atau makanan Indonesia masuk dalam daftar budaya atau makanan yang dipromosikan sebagai daya tarik wisata Malaysia karena kita sendiri sedang ketakutan karena hal itu lebih bisa berkembang di negara lain, sementara di negara kita sendiri sedang dalam proses dilupakan. Menurut saya budaya apapaun (kesenian, pakaian, makanan dll) akan bisa bertahan dan berkembang tidak ditentukan dari mana dia berasal tetapi tergantung dari negera mana yang bisa memberi ruang untuk bertahan dan berkembang. Ini berarti kalau Indonesia ingin budaya asli kita bisa berkembang di negara kita sendiri, maka perlu upaya serius dan sistematis untuk mengembangkannya di Indonesia.
Selama seminggu ini saya liburan di desa asal saya di Wonogiri. Biasa sehabis lebaran banyak orang yang memiliki kerja menikahkan anak. Ada yang sangat berbeda kebiasaan orang jaman ini dengan jaman saya waktu kecil. Kebiasaan di waktu kecil kalau ada orang yang menikahkan anaknya, mereka sering “menanggap” wayang kulit semalam suntuk. Anak-anak pada memahami wayang sebagai budaya kita. Mereka mengenal tokoh-tokoh seperti pandawa, kurawa dan punokawan. Mereka bisa belajar bagaimana menjadi manusia yang memiliki pribadi seperti pandawa dan menghindari pribadi seperti kurawa. Tetapi apa yang terjadi sekarang ? Wayang sudah tidak ada lagi tetapi digantikan dengan orkes dangdut atau campursari. Mereka hanya bersenang-senang tetapi tidak ada pelajaran yang dipetik tetapi justru sebaliknya anak-anak kecil sudah belajar perilaku dan kata-kata jorok. Bagaimana tidak ? Mereka mengenal akrab lagu cucak rowo, sms, bojo loro dll. Norak bahkan merusak...!!!
Waktu saya masih SD setiap tahun di tingkat kecamatan selalu ada lomba, baik olah raga maupun tari-tarian tradisional. Sedangkan di kelurahan selalu ada pentas seni : ada tarian, ketoprak, bahkan wayang kulit tetapi sekarang semua itu sudah tidak ada dan digantikan dengan campursari atau dangdut.
Jika anak-anak jaman sekarang sudah tidak mengenal budayanya sendiri, maka ketika dewasa 10 atau 20 tahun kedepan orang Indonesia sudah tidak mengenal lagi budayanya. Nah kalau seperti ini apakah akan dibiarkan budaya asli indonesia akan kita biarkan sirna ditelan jaman ? Bukankan lebih baik jika budaya asli indonesia dipelajari dan dikembangkan diluar negeri ?
Saya tidak bermaksud mengajak kita kembali ke masa lalu tetapi saya hanya mengingatkan bahwa kalau kita ingin budaya kita tetap terpelihara bahkan bisa berkembang maka perlu adanya ruang dan media untuk memelihara, mengembangkan bahkan melakukan transfer kepada generasi berikutnya. Tanpa hal itu budaya kita akan sirna oleh jaman.
Terus terang, hati kecil saya merasa bersukur ketika Malaysia memasukkan beberapa budaya asli Indonesia dalam iklan promosi pariwisata negara itu. Sukur saya bukan karena budaya kita yang diakui oleh mereka tetapi lebih karena peristiwa itu menyadarkan kita tentang beberapa hal :
1) peristiwa itu mengingatkan kita bahwa budaya kita yang saat ini pelan-pelan sudah mulai kita lupakan ternyata bagi negara lain menjadi sesuatu yang memiliki “nilai lebih” dan memiliki daya tarik wisata,
2) peristiwa itu memacu kita untuk memeiliki perhatian yang lebih terhadap pengembangan budaya bangsa sekaligus menyadarkan kita bahwa dibutuhkan upaya sistematis untuk memelihara dan mengembangkan budaya asli kita baik melalui pendidikan formal maupun melalui aktivitas dalam masyarakat,
3) di masa global ini jika budaya kita tidak kita pelihara sendiri maka tidak bisa dihalangi jika budaya kita akan dikembangkan di negara lain.
Persoalannya adalah apa yang akan kita lakukan berikutnya ? Upaya menginvetarisi budaya asli Indonesia dan mendaftarkan di UNESCO memang cukup baik tetapi tidaklah cukup. Yang lebih penting adalah bagaimana kita membuktikan kepada semua bangsa bahwa kita lebih mampu mengembangkan dan memanfaatkan budaya kita bagi peningkatan harga diri bangsa dan kesejahteraan rakyat. Perlu upaya untuk melestarikan secara sistematis dan memberikan ruang untuk bertumbuh dan berkembang. Jika hal tersebut tidak bisa kita laksanakan kita tidak perlu protes jika bangsa lain yang mengembangkannya. Malah kita perlu bersyukur karena mereka telah melestarikan budaya kita... Sama seperti pohon sawo kecik milik saya, lebih baik dipelihara orang lain karena bisa tumbuh subur dan berkembang daripada mati dirumah saya karena tidak dipelihara dengan baik. Itu hanya pendapat saya, anda boleh tidak setuju.. tapi jangan menuduh saya “pro Malaysia” dan anda tidak boleh demo kepada saya...! He..he..he..
Manajemen Mutu : Antara Continous Improvement dan Standard Operating Procedure (SOP)
Pengantar
Dalam pekerjaan kita sehari-hari sering kita menemui banyak masalah dan kesalahan. Misalnya : komplain dari pelanggan (internal atau eksternal), salah cetak, salah pemeriksaan, salah menyerahkan barang, kehilangan barang dll. Masalah dan kesalahan itu kadang sering terjadi. Tetapi apa yang kita lakukan ? Banyak diantara kita yang diam membiarkan saja tanpa tindakan apapun dengan harapan suatau saat akan selesai dengan sendirinya. Benarkah akahirnya selesai dengan sendirinya ? Mungkin ada yang selesai namun kebanyakan masalah dan kesalahan itu tetap saja terjadi dan kita sudah menjadi terbiasa bekerja dengan masalah dan kesalahan. Lingkungan dan budaya kerja kita menjadi buruk karena sudah akrab dengan lingkungan yang terbiasa dan toleran terhadap masalah dan kesalahan. Apa akibatnya ? Kita bekerja dan berkinerja dibawah standar dan tidak ada kemajuan bahkan terjadi penurunan. Jika hal ini terjadi dalam semua bagian di suatu organisasi maka bersiap-siaplah menuju kehancuran.
Faktor Yang Menghambat Upaya Perbaikan Berkelanjutan
Dalam konsep manajemen mutu, dikenal istilah perbaikan berkelanjutan atau continous improvement. Perbaikan berkelanjutan ini merupakan suatu upaya untuk melakukan perbaikan secara terus menerus agar produk (barang atau jasa) yang kita hasilkan menjadi lebih sempurna sesuai kebutuhan dan keinginan konsumen. Upaya untuk melakukan perbaikan berkelanjutan ini sebenarnya merupakan kunci penting dalam manajemen mutu, namun seringkali terkendala oleh 3 faktor. Faktor yang pertama adalah standar. Seringkali organisasi tidak memiliki standar mutu yang ditetapkan atas hasil kerja karyawan. Misalnya : berapa waktu tunggu seorang klien akan dilayani oleh seorang kasir, berapa angka kesalahan input data yang bisa diterima, berapa angka kerusakan alat yang boleh terjadi selama setahun dst. Tanpa ada standar ini maka sulit untuk menilai, mengukur dan meningkatkan kinerja karyawan/organisasi. Seorang manajer dan bawahan bisa terus berdebat ketika membicarakan kinerja. Seorang atasan bisa menilai buruk pada bawahan tetapi sebaliknya bawahan bisa membela diri bahwa kinerjanya sudah cukup bagus. Perdebatan itu bisa tidak berakhir selama standarnya belum ada dan belum ditetapkan. Standar seperti ini harusnya ditetapkan oleh manajemen dan disampaikan kepada karyawan. Dalam menetapkan standar sebaiknya bisa terukur sebab sesuatu yang tidak bisa diukur biasanya sulit untuk ditingkatkan. Faktor yang kedua adalah budaya. Faktor budaya ini terkait erat dengan kebiasaan dan latar belakang individu baik manajer maupun bawahan. Banyak diantara kita ketika sakit batuk dibiarkan saja toh nanti akan sembuh dengan sendirinya. Hal seperti ini kadang terbawa dalam dunia kerja. Ketika ada masalah atau kesalahan dibiarkan saja tanpa ada usaha untuk memperbaiki dengan alasan toh nanti akan selesai dengan sendirinya. Oleh karena itu jangan heran jika dalam suatu oragnisasi, masalah yang berulang terjadi bertahun-tahun tidak pernah terselesaikan. Makin lama, kita makin akrab dan sudah terbiasa hidup dalam masalah dan kesalahan yang berulang-ulang. Faktor ketiga adalah persepsi yang salah terhadap SOP (standar operating procedure), SOP sering dipahami sebagai prosedur kerja baku yang tidak bisa diubah. Oleh karena itu kita selalu merasa sudah benar jika bekerja sesuai SOP yang berlaku. Apakah pendapat ini salah ? Tergantung...! Pendapat ini benar jika kita sebagai robot tetapi sebagai manusia mestinya kita harus bisa melakukan evaluasi, apakah SOP yang kita gunakan menimbulkan masalah atau tidak.
Memang benar bahwa SOP merupakan standar proses kerja, namun jangan lupa bahwa tidak ada SOP yang sempurna. Dalam banyak kasus SOP kadang menjadi penghambat untuk mencapai mutu yang diharapkan. Jika SOPnya bermasalah dan tidak dilakukan revisi maka akan terjadi permasalahan atau kesalahan yang berulang-ulang.
Mana yang lebih penting Continous Improvement atau SOP ?
Keduanya dibutuhkan dalam pencapaian mutu. Untuk mencapai sasaran/standar mutu yang diharapkan maka perlu dibuat SOP yang tepat. Persoalannya seringkali SOP dibuat dengan cara mencontoh dari tempat yang lain atau dibuat oleh orang yang tidak kompteten membuat SOP sehingga tidak “applicable” dan tidak tepat. Sebenarnya mencontoh tempat lain tidaklah dilarang namun yang harus diperhatikan SOP harus disesuaikan dengan situasi setempat sehingga bisa diterapkan dan efektif untuk mencapai sasaran/standar mutu yang telah ditetapkan. Bagaimana kita tahu SOP yang kita gunakan efektif atau tidak ? Disinilah perlunya dilakukan evaluasi. Evaluasi bisa dilakukan secara periodik bisa juga dilakukan secara insidental khususnya ketika terjadi kesalahan atau kejadian yang tidak diharapkan. Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh termasuk evaluasi terhadap SOP yang saat ini digunakan. Jika ternyata SOPnya yang bermasalah dan tidak efektif untuk mencapai sararan/standar mutu maka perlu dilakukan revisi.
SOP adalah alat untuk mencapai tujuan yaitu sasaran/standar mutu. Sebagai alat, maka SOP harus flexible untuk dirubah jika tidak efektif. Dengan kata lain, demi perbaikan, SOP bisa direvisi atau dirubah sama sekali dengan SOP yang baru. Jadi meskipun continous improvement dan SOP sama-sama penting namun continous improvement harus melandasi semua upaya peningkatan mutu. Demi continous improvent, SOP harus tunduk dan siap direvisi bahkan diganti dengan SOP yang sama sekali baru.
Apakah SOP bisa dirubah setiap saat ? Prinsipnya SOP bisa direvisi setiap saat demi perbaikan bukan direvisi sekedar demi perubahan . Namun yang harus diperhatikan, tidak setiap orang bisa merubah ”semau gue”. Perubahan SOP harus dilakukan melalui prosedur yang benar. Ada proses evaluasi, proses penyusunan konsep perubahan, proses otorisasi (pengesahan) dan proses sosialisasi. Proses-proses tersebut harus dilakukan dengan benar agar efektif dan esisien. Jika prosesnya tidak benar bisa jadi akan timbul kekacauan atau kontra produktif.
Kuncinya, secara teknis bekerjalah sesuai SOP secara konsisten namun jangan bertindak seperti robot, tetaplah kritis terhadap SOP. Tetaplah konsisten dengan semangat untuk melakukan proses perbaikan berkelanjutan tiada henti. Aturan apapun bisa dirubah bahkan bisa ”didobrak” demi perbaikan. Namun jangan lupa alasannya harus rasional dan proses merubahnya harus dilakukan dengan cara yang benar.
BUDAYA MENANTANG RESIKO
Oleh : E. Hindro Cahyono
Dalam setiap kali perjalanan seringkali saya merasa terusik oleh perilaku pengendara kendaraan bermotor yang berperilaku ugal-ugalan yang beresiko mencelakakan diri sendiri atau orang lain. Coba kita lihat, traffic light sudah berwarna merah masih saja diterobos, belok dari gang ke jalan besar tanpa melihat kanan dan kiri, menyalib kendaraan lain dan langsung memotong didepan kendaraan, naik sepeda motor sangat kencang dengan membawa anak kecil duduk didepan tanpa helm. Dan yang lebih menakutkan ketika palang kereta api sudah ditutup ada beberapa sepeda motor yang nekad menerabas melewati palang kereta api. Astagafirullah…orang kok nggak “ngeman” nyawanya sendiri.
Di beberapa tempat kerja kita lihat, orang sedang “ngelas” tidak menggunakan kacamata las. Orang yang bekerja di kamar cuci rumah sakit tidak mau menggunakan sarung tangan, masuk ke ruang genset tidak menggunakan penutup telinga dan lain-lainnya. Kadang saya bertanya :”mengapa tidak menggunakan alat pelindung diri ?” Mereka dengan enteng menjawab ”nggak mau ribet” atau ”alat pelindung dirinya sudah rusak”. Ya ampun... saya yang nglihat mereka bekerja saja merasa was-was dengan keselamatan mereka, tapi kok mereka sendiri nggak peduli dengan keselamatannya sendiri.
Gejala apa ini sebenarnya ? Saya menyebutnya sebagai ”budaya menantang resiko yang ”tidak cucuk”(resiko tidak sebanding dengan hasilnya). Mengapa budaya seperti ini bisa terjadi ? Mereka tidak paham tentang resiko keselamatan diri atau sebenarnya paham tetapi tidak mau tahu karena resikonya dianggap terlalu kecil tidak sebanding dengan ribetnya menggunakan alat pelindung diri ?
Bagaimana harus menyikapi hal ini ? Apakah untuk menyadarkan masyarakat tentang resiko keselamatan diri harus menunggu waktu dengan membiarkan mereka melihat fakta setelah nanti terjadi banyak korban ? Ataukah ada cara lain untuk menyadarkannya tanpa harus menunggu banyak korban ?
Sebagai pejabat pemerintah atau manajer suatu organisasi yang harus memikirkan keselamatan rakyatnya atau anggota organisasinya mestinya harus bertindak proaktif. Perlu melakukan tindakan yang sistematis untuk menyadarkan masyarakat atau anggota organisasi sebelum terjadi banyak korban. Bagaimana caranya ? Saya berpendapat perlu cara yang komprehensif untuk menyadarkan masyarakat dari budaya yang ”tidak cucuk” ini. Beberapa cara ini bisa dilakukan khususnya dalam konteks di jalan raya dan di perusahaan.
Cara pertama adalah perlunya kampanye menyadarkan masyarakat. Misalnya, dipasang tanda peringatan di jalan yang menjelaskan kepada masyarakat cara berkendara yang benar dan resiko keselamatan jika melanggar. Misalnya, cara mendahului (menyalip) kendaraan dengan benar, cara berbelok yang benar dll. Iklan di televisi saya rasa juga cukup efektif seperti iklan penggunaan helm atau penggunaan sabuk keselamatan yang pernah ditayangkan di televisi. Di tingkat perusahaan juga bisa dilakukan dengan upaya sosialisasi atau pemasangan tanda-tanda wajib menggunakan alat pelindung diri yang benar.
Cara yang kedua adalah perlunya dibuat aturan dan dilakukan law enforcement jika terjadi pelanggaran. Penertiban pengguna kendaraan yang sering dilakukan sering hanya melihat surat-surat kendaraan, SIM dan pelanggaran traficlight atau marka. Perlu upaya lain melakukan penertiban dengan pengamatan di jalanan. Pengendara yang ugal-ugalan, mendahului secara membahayakan, berbelok secara ngawur harus diberi pelajaran dengan cara ditilang. Di tingkat perusahaan juga begitu, ketentuan penggunaan alat pelindung diri harus ditetapkan dan karyawan yang tidak disiplin menggunakan alat pelindung diri harus diberikan tegoran atau surat peringatan.
Cara yang ketiga adalah perlu melibatkan pihak-pihak yang memiliki akses untuk mempengaruhi masyarakat. Misalnya, lembaga agama, tokoh masyarakat, LSM dll. Pihak-pihak ini bisa berperan signifikan untuk mempengaruhi masuarakat.
Cara keempat adalah membuat lomba dan mengumumkan ke publik tentang daerah-daerah yang memiliki prestasi tertib lalu lintas, angka kecelakaan nol untuk memacu setiap daerah agar lebih tertib. Di tingkat perusahaan juga bisa dilakukan hal yang sama. Lomba antar bagian, bagi yang tertib menggunakan alat pelindung diri dan angka kecelakaan kerja nol akan mendapatkan penghargaan.
Cara-cara di atas bisa dilakukan secara bersama-sama terlebih jika kondisinya sudah parah perlu bermacam-macam cara yang secara terpadu bisan digunakan agar lebih efektif.
Dalam setiap kali perjalanan seringkali saya merasa terusik oleh perilaku pengendara kendaraan bermotor yang berperilaku ugal-ugalan yang beresiko mencelakakan diri sendiri atau orang lain. Coba kita lihat, traffic light sudah berwarna merah masih saja diterobos, belok dari gang ke jalan besar tanpa melihat kanan dan kiri, menyalib kendaraan lain dan langsung memotong didepan kendaraan, naik sepeda motor sangat kencang dengan membawa anak kecil duduk didepan tanpa helm. Dan yang lebih menakutkan ketika palang kereta api sudah ditutup ada beberapa sepeda motor yang nekad menerabas melewati palang kereta api. Astagafirullah…orang kok nggak “ngeman” nyawanya sendiri.
Di beberapa tempat kerja kita lihat, orang sedang “ngelas” tidak menggunakan kacamata las. Orang yang bekerja di kamar cuci rumah sakit tidak mau menggunakan sarung tangan, masuk ke ruang genset tidak menggunakan penutup telinga dan lain-lainnya. Kadang saya bertanya :”mengapa tidak menggunakan alat pelindung diri ?” Mereka dengan enteng menjawab ”nggak mau ribet” atau ”alat pelindung dirinya sudah rusak”. Ya ampun... saya yang nglihat mereka bekerja saja merasa was-was dengan keselamatan mereka, tapi kok mereka sendiri nggak peduli dengan keselamatannya sendiri.
Gejala apa ini sebenarnya ? Saya menyebutnya sebagai ”budaya menantang resiko yang ”tidak cucuk”(resiko tidak sebanding dengan hasilnya). Mengapa budaya seperti ini bisa terjadi ? Mereka tidak paham tentang resiko keselamatan diri atau sebenarnya paham tetapi tidak mau tahu karena resikonya dianggap terlalu kecil tidak sebanding dengan ribetnya menggunakan alat pelindung diri ?
Bagaimana harus menyikapi hal ini ? Apakah untuk menyadarkan masyarakat tentang resiko keselamatan diri harus menunggu waktu dengan membiarkan mereka melihat fakta setelah nanti terjadi banyak korban ? Ataukah ada cara lain untuk menyadarkannya tanpa harus menunggu banyak korban ?
Sebagai pejabat pemerintah atau manajer suatu organisasi yang harus memikirkan keselamatan rakyatnya atau anggota organisasinya mestinya harus bertindak proaktif. Perlu melakukan tindakan yang sistematis untuk menyadarkan masyarakat atau anggota organisasi sebelum terjadi banyak korban. Bagaimana caranya ? Saya berpendapat perlu cara yang komprehensif untuk menyadarkan masyarakat dari budaya yang ”tidak cucuk” ini. Beberapa cara ini bisa dilakukan khususnya dalam konteks di jalan raya dan di perusahaan.
Cara pertama adalah perlunya kampanye menyadarkan masyarakat. Misalnya, dipasang tanda peringatan di jalan yang menjelaskan kepada masyarakat cara berkendara yang benar dan resiko keselamatan jika melanggar. Misalnya, cara mendahului (menyalip) kendaraan dengan benar, cara berbelok yang benar dll. Iklan di televisi saya rasa juga cukup efektif seperti iklan penggunaan helm atau penggunaan sabuk keselamatan yang pernah ditayangkan di televisi. Di tingkat perusahaan juga bisa dilakukan dengan upaya sosialisasi atau pemasangan tanda-tanda wajib menggunakan alat pelindung diri yang benar.
Cara yang kedua adalah perlunya dibuat aturan dan dilakukan law enforcement jika terjadi pelanggaran. Penertiban pengguna kendaraan yang sering dilakukan sering hanya melihat surat-surat kendaraan, SIM dan pelanggaran traficlight atau marka. Perlu upaya lain melakukan penertiban dengan pengamatan di jalanan. Pengendara yang ugal-ugalan, mendahului secara membahayakan, berbelok secara ngawur harus diberi pelajaran dengan cara ditilang. Di tingkat perusahaan juga begitu, ketentuan penggunaan alat pelindung diri harus ditetapkan dan karyawan yang tidak disiplin menggunakan alat pelindung diri harus diberikan tegoran atau surat peringatan.
Cara yang ketiga adalah perlu melibatkan pihak-pihak yang memiliki akses untuk mempengaruhi masyarakat. Misalnya, lembaga agama, tokoh masyarakat, LSM dll. Pihak-pihak ini bisa berperan signifikan untuk mempengaruhi masuarakat.
Cara keempat adalah membuat lomba dan mengumumkan ke publik tentang daerah-daerah yang memiliki prestasi tertib lalu lintas, angka kecelakaan nol untuk memacu setiap daerah agar lebih tertib. Di tingkat perusahaan juga bisa dilakukan hal yang sama. Lomba antar bagian, bagi yang tertib menggunakan alat pelindung diri dan angka kecelakaan kerja nol akan mendapatkan penghargaan.
Cara-cara di atas bisa dilakukan secara bersama-sama terlebih jika kondisinya sudah parah perlu bermacam-macam cara yang secara terpadu bisan digunakan agar lebih efektif.
Langganan:
Postingan (Atom)